17 | Di rumah Rai

673 37 4
                                    

Windy baru saja duduk di halte yang tidak terlalu jauh dari SMA Cengdrawangsa. Beberapa detik setelah ia duduk di sana, Windy sempat melihat Rai menaiki motor maticnya dengan Raina yang berada di belakangnya. Rasa kesalnya masih saja ada dan kian bertambah setiap harinya. Windy menghela napas kasar, berharap bus dengan segera datang dan membawanya pergi dari tempat ini.

Raina sahabat lo Wind

Lo nggak boleh gitu

Windy bersuara pelan, berusaha menguatkan dirinya agar tidak cemburu saat setiap kali melihat Raina bersama Rai. Dengan kebiasaan yang sama saat menenangkan diri, Windy kini menutup matanya berusaha mengontrol pikiran dan emosinya.

Rasanya dia ingin menangis pada posisi saat ini, saat dimana Raina yang semakin dekat dengan Rai sementara rasa sayangnya masih ada dan tidak pernah berubah semenjak cowok itu memutuskan untuk pergi.

Suara motor yang berhenti di depannya itu membuatnya membuka kedua tangan yang menutupi wajahnya. Matanya melebar saat mendapati seorang laki-laki di depannya.

Windy menghembuskan nafas kasar sebelum berbicara. "Issh! Lo ngapain lagi sih?"

Evan turun dari motornya kemudian menghampiri Windy. "Gue mau nganter lo pulang." Tanpa perintah Windy, Evan duduk disebelahnya. "Gue, 'kan, udah bilang, sebagai permintaan maaf, gue rela jadi ojek lo selama seminggu," ucapnya terkekeh.

Windy menaikkan alisnya sebentar kemudian pandangannya teralih pada ponselnya yang terdengar suara notifikasi Line.

Ardana Guntara

Lo udah pulang latihan?

Mau gue jemput?

"Tapi kalo lo betah sama gue, gue bersedia kok jadi ojek lo seterusnya," sambung Evan lagi yang membuat Windy mendelik.

"Yaudah cepat antar gue pulang." Windy menarik lengan baju Evan agar dia ikut berdiri. Ponsel yang tadi dia pegang kini diletakkannya kembali pada saku seragam sekolahnya.

"Segitu senangnya pulang bareng gue." Evan menyengir diakhir kalimatnya yang membuat alis Windy naik sebelah. Evan tertawa kemudian berdiri mendekati Windy. "Yaudah, yuk," ajak Evan kemudian menarik tangan Windy.

"Jangan pegang-pegang gue!" seru Windy melepaskan tangannya dan berjalan lebih dulu dari Evan.

Cowok itu tersenyum kemudian mengikuti langkah Windy.

~®w~

"Assalamualaikum Ma," ucap Rai saat baru saja membuka kenop pintu kemudian membuka sepatu, di belakangnya Raina juga melakukan hal yang sama.

"Waallaikumsallam, kamu kenapa la-" Ucapan Sulis terhenti saat melihat perempuan di belakang anak laki-lakinya itu, matanya menyipit sambil melangkah mendekati Raina.

Raina mencium punggung tangan milik wanita paruh baya itu, dan diakhiri dengan senyuman di bibirnya.

"Ini Raina Ma, yang aku ceritain kemarin." Kedua perempuan itu kini menoleh kearah Rai. "Gue ganti baju bentar, ya," ucapnya kearah Raina yang dibalas dengan anggukan singkat.

Mata Raina kini kembali melihat Wanita yang berkisar umur empat puluh tahunan itu. Raina tersenyum kearahnya.

Kedua tangan Sulis memegangi kedua pipi Raina. "Kamu cantik," katanya membuat Raina tak berniat memudarkan senyumnya. "Yuk, duduk dulu."

"Iya tante." Raina mengikuti langkah Sulis yang berjalan menuju ruang tamu.

Wanita berambut pendek itu selalu senang dengan anak perempuan yang dibawa Rai ke rumah, mau itu teman Nata atau pacarnya. Sulis sangat senang dengan anak perempuan, semenjak anak perempuannya meninggal saat masih berumur satu tahun.

Dia menganggap semua teman perempuan Rai adalah anaknya. Saking senangnya dengan anak perempuan, dulu, Windy sering diajak ke rumah ini hanya untuk menemani Sulis mengobrol,Windy dengan senang hati menerima itu.

"Kamu duduk di sini aja, biar Tante buatin minum, ya,"

"Iya tante," balas Raina kemudian membiarkan tubuhnya jatuh di atas sofa.

Televisi di depannya menampilkan acara masak-memasak, dan menu yang akan diberitahukan pada acara itu adalah bolu kukus. Raina melipat kedua kakinya kemudian menopang dagunya dengan tangan yang bertumpu pada pahanya. Dengan antusiasnya Raina berusaha menghapal tahap demi tahap yang ditampilkan disana pada memori otaknya.

Namun suara langkah kaki membuat padangan beralih ke belakang, di sana Sulis dengan membawa segelas minuman dingin berwarna merah pada nampan coklat. "Kamu temen satu ekskul Rai?" kata wanita paruh bawa itu seraya meletakkan gelas berisi es pada meja di depan Raina. Kemudian Sulis ikut duduk di sebelah Raina.

"Iya tante," ucap Raina berusaha akrab dengan ibu dari Rai, sejujurnya Raina adalah tipe gadis yang sulit sekali akrab dengan orang-orang baru, terlebih pada orang-orang terdekat temannya. "Tante tau dari mana?"

Sulis meletakkan nampan yang tadi dipangkunya, "Rai kemarin cerita sama Tante."

"Kamu sering-sering main ke sini, ya," pinta Sulis bersemangat. "Tante suka anak perempuan, tapi malah anaknya laki-laki semua." Sulis terkekeh setelah mengatakan itu.

"Iya Tante, kalo Rai sering bawa aku ke sini." Cengiran hadir di sana setelah kalimatnya.

"Tante pasti bakal suruh Rai buat jadi ojek kamu kalau ke sini, kok," ucap Sulis. "Kamu dulu SMP dimana?" tanya Sulis mengubah alur pembicaraannya.

"SMP Pelita Tan,"

"Wahh, satu SMP dong sama Rai,"

"Rai juga SMP di Pelita?" Sebenarnya Raina hanya memastikan perkatan Debby saat di kantin kemarin.

"Iya," jedanya sebentar, "sama Ira juga,"

Kening Raina berkerut. "Ira?"

"Ahh, tante lupa ngasi tau." Wanita itu menepuk keningnya pelan sembari tertawa hambar. "Ira itu satu-satunya temen perempuan Rai waktu SMP. Cantik sih, tapi rambutnya pendek kayak tante gini." Tangan sulis berada di kedua bahunya menunjukan bentuk rambutnya. "Kalo nggak salah dia kelas sembilan empat," lanjutnya.

"Raina juga kelas sembilan empat waktu itu." Raina berusaha mengingat teman sekelasnya yang memiliki rambut pendek sebahu. "Tapi di kelas Raina nggak ada yang namanya Ira." Raina menggeleng pelan saat benar-benar yakin tak ada perempuan berambut pendek selain Windy.

Ia teringat dengan sahabatnya yang kini terlihat semakin jauh darinya. Sekilas dia melirik wallpapper ponselnya yang menampilkan foto mereka berdua. Foto itu diambil saat mereka di dermaga waktu itu, ditemani angin yang membuat rambut mereka berantakan.

Di foto itu menampilkan wajah konyol mereka berdua, dan tentu saja itu permintaan Windy. Dengan wajah mereka seperti itu entah kenapa Raina memilih foto itu dari sekian banyaknya foto untuk dijadikan wallpaper.

"Tante siapin makanan di meja makan ya, nanti kita makan bareng."
Suara Sulis berhgasil membuyarkan lamunan Raina. Wanita itu berniat bergerak namun sebelumnya Raina bersuara.

"Umm, tante?" panggil Raina. "Aku bantuin boleh?" tanyanya yang dibalas anggukan oleh Sulis.

"Boleh dong." Sulis membalas dengan nada khas miliknya.

Raina bergerak membuntuti Sulis ke dapur untuk mempersiapkan makanan, yang akan diangkat ke-meja makan untuk mereka makan Nanti.

Rain, Wind and Mine  (SUDAH TERBIT) Where stories live. Discover now