18 | Bilanglala

657 42 5
                                    

"Ayo, Rain," ajak Rai saat motornya baru saja berhenti di parkiran pasar malam tradisional itu.

Satu jam lalu dia diminta oleh sang mama untuk mengantar Raina pulang ke rumah, namun, di tengah perjalanan mengantar Raina, Rai melihat pasar malam tradisional yang terlihat ramai. Rai memberhentikan motornya di pinggir jalan berusaha mengajak Raina agar mau masuk diantara orang-orang yang menikmati wahana di sana, tetapi Raina memilih pulang terlebih dahulu agar dia bisa membersihkan tubuhnya dari keringat dan mengganti pakaiannya.

Raina terdiam memandangi pasar malam itu, menatap bianglala, satu-satunya benda tertinggi di sana yang selalu dipenuhi warna-warni lampu. Kini pandangannya teralih pada penjual es krim yang terletak bagian depan pasar malam itu.

"Ayo!" seru Raina kemudian dia turun dari motor dan bergerak. Cowok itu mengekori Raina yang sudah berjalan semangat ke arah penjual es krim.

Rai tersenyum melihat semangat itu, beberapa hari ini hari-hari Rai dipenuhi dengan Raina, Raina dan Raina. Matanya menatap gadis itu yang tepat berdiri di depan penjual es krim dan mengayunkan tangannya kearah Rai agar cowok itu berjalan lebih cepat dan memesan es krim juga.

Raina yang mengenakan celana jeans putih, dan baju berwana biru donker itu terkesan sederhana, sesederhana dirinya. Rambutnya dia urai dengan setengah dia ikat dan meletakkan pita berbentuk panda di sana.

"Gue Vanila, lo rasa apa?" kata Raina saat Rai tepat berada disebelahnya.

"Samain aja." Rai menyahut singkat dengan matanya masih saja berfokus ke wajah Raina.

Senyum Raina seolah menghipnotisnya untuk tidak beralih dari wajahnya. Tangan gadis itu bergerak nenunjuk toping yang akan dia letakan di atasnya, ia terus memperhatikan itu dan tanpa dia sadar, Rai mengulum senyum sekilas kemudian menghilang saat Raina memberikan es krim Vanita itu padanya.

"Kita kemana?" tanya Raina setelah memakan es krimnya.

"Naik bianglala, yuk?"

"Tapi abisin es krim dulu."

Cowok itu mengangguk kemudian menarik tubuh Raina untuk melihat-lihat gantungan kunci yang di susun rapi oleh sang penjual.

Mata Raina berfokus pada gantungan ponsel berbentuk panda kecil, yang berhasil menarik perhatiannya dari bentuk-bentuk yang lain. Tidak hanya mereka yang berada di sana namun beberapa orang yang juga ingin membeli benda-benda kecil itu.

"Yahh ..." Raina mengeluh saat melihat gantungan ponsel yang dia lihat tadi langsung diambil oleh laki-laki dengan gadis yang bersamanya, dan mereka langsung membayar kepada si penjual. Padahal gantungan ponsel berbentuk panda itu hanya tersisa satu.

Rai yang mendengar suara Raina langsung menoleh kemudian mengikuti ekor mata Raina yang melihat gantungan ponsel berbentuk panda yang kini sudah dibawa oleh gadis tadi. "Mas, Gantungan hape bentuk panda ada lagi nggak?" tanya Rai yang membuat Raina mengernyit.

"Nggak ada Mas, kemungkinan minggu depan baru ada." Suara laki-laki bertubuh jagkung itu melemahkan semangat Raina.

"Yaudah Mas simpen buat saya satu, ya, minggu depan saya balik lagi."

"Oke Mas,"

Kening gadis itu mengerut. "Rai?" panggil Raina. Rai menoleh kearahnya. "Gantungan hape bentuk panda buat siapa?" tanya Raina bingung, Rai sama sekali tidak memiliki adik perempuan, dan tidak mungkin jika gantungan ponsel itu untuk dia pakai.

"Buat lo."

"Buat gue?"

"Iya Raina, lo tadi liatin gantungan hape bentuk panda yang diliatin mas-mas tadi 'kan?" jawab Rai.

Rain, Wind and Mine  (SUDAH TERBIT) Where stories live. Discover now