19 | Keluarga tak sedarah

657 34 4
                                    

Kamar dengan nuansa hitam putih itu terlihat semakin menarik dengan pigura dengan warna senada. Beberapa ornamen hanya diisi dengan benda-benda berwana hitam atau putih. Hitam dan putih adalah warna bertolak belakang yang sangat indah jika disatukan, hitam adalah warna gelap, dan putih sebaliknya, namun menurut Raina, aarna itu tak akan indah juka tidak disatukan.

Ketiga perempuan itu tidur terlentang menghadap langit-langit kamar berwarna putih tulang. Bercerita tentang segala hal konyol yang pernah mereka lakukan dulu, tanpa Windy.

"Windy aneh banget akhir-akhir ini," kata Acha mengganti topik percakapan. Tangannya mengambil ponsel yang tadi berada di sebelahnya untuk mengecek apakah Windy membalas pesannya atau tidak.

Sebelum mereka berangkat ke sini Acha sempat mengirim pesan untuk Windy bermaksud mengajaknya untuk main ke rumah Raina seperti biasanya, namun, setelah mereka bersiap-siap pesan itu tak kunjung dibalas ataupun sekedar dibaca oleh Windy.

"Iya, kayak ngejauh gitu tau, nggak. Beda banget dari biasanya." Snack yang dimakan Debby kini diletakkannya kemudian bergerak duduk dan bersandar pada kepala kasur.

"Positif thinking aja kenapa, sih? Dia lagi sibuk kali," kata Raina sambil mengikuti Posisi Debby.

Sementara Acha tak mengubah posisi nyamannya di sana. Acha masih menscroll feeds Instagram dari orang-orang yang dia follow, tepat pada sebuah foto di pasar malam matanya terpaku, dengan caption 'Just be mine'

"Eh-eh liat nih!" kata Acha sembari duduk diantara kedua temannya.

Pada postingan itu, Evan yang tersenyum dengan Windy di belakangnya yang sedang memakan permen kapas dan matanya yang sedikit melirik kamera ponsel Evan.

"Captionnya, Just be mine. Windy udah jadian sama cowok tengil itu?" Acha menyatukan alisnya saat membayangkan hal itu benar-benar terjadi. Bagaimana bisa cowok aneh itu menaklukan gadis sejenis Windy?

"Nggak tau, sih, kemarin gue sempat ketemu dia juga di sana," kata Raina yang memakan snack kentang milik Debby.

"Lo ke pasar malam juga?" tanya Debby.

"Sama siapa? Kok nggak ngajak kita, sih?" Acha menekuk bibirnya sebal.

Tangan Raina memberikan bungkusan snack itu saat tangan Debby menjulur untuk meminta. "Sama Ra-" Raina menutup mulutnya seketika saat dia hampir saja menyebut nama Rai. Bukan karena apa-apa, Raina hanya malas jika harus diteriakin 'cie' saat dia bersama Rai di sekolah.

"Ra? ra siapa?" tanya Debby dengan kernyitan diahinya.

"Gue ke pasar malam sama Raya," ucap Raina setelah mengingat tetangganya yang suka naik bianglala. "Kita satu kabin sama Windy waktu itu, sama Evan juga," lanjut Raina.

"Windy naik bianglala?" kata Acha kemudian mengambil ponselnya yang berdering dan memunculkan nama Windy di layar ponselnya.

Acha menggeser ikon hijau yang tertera disana, "Hallo, Wind?"

Debby dan Acha memerhatikan Acha dengan Lawan bicaranya.

"Kalian masih di sana kan?"

"Windy! Lo kesini, ya, gue kangen sama lo Wind." Raina berseru saat mendengar suara lawan bicara Acha yang sengaja dia loud speakers agar teman-temannya mendengar.

"Gue lagi dijalan, jangan pulang dulu Cha," kata Windy tanpa memperdulikan suara Raina.

"Lo bawa gitar, 'kan?"

"Iya."

"Oke deh."

Acha memutuskan panggilan telepon kemudian memandang kedua temannya. "Baru diomongin. Panjang umur," katanya kemudian bergerak maju dan membaringkan tubuhnya di sana.

Rain, Wind and Mine  (SUDAH TERBIT) Where stories live. Discover now