4 | Tentang Evan

1.4K 145 123
                                    

Windy meneguk habis es teh manis yang baru saja dibelinya di kantin Bu Retno. Tenggorokannya kini terasa sejuk karena dinginnya es. Gadis itu sangat lelah setelah dihukum guru BK karena melompat pagar tadi. Jika dia tidak mengikuti ide cowok yang bersamanya tadi, dia tidak akan secapek ini.

Yang paling membuatnya kesal dengan laki-laki itu adalah nama Windy yang dia ganti seenak udelnya. Rasanya gadis itu ingin sekali menenggelamkan cowok itu ke dasar bumi.

Raina menoleh menatap Windy yang menekuk wajahnya sebal. Sejak mereka duduk di tempat ini, Windy tidak berbicara apapun selain merengut tanpa sebab yang Raina ketahui.

"Capek banget apa?" tanya Raina. Dia melirik gelas es yang baru saja Windy letakkan di atas meja sampai terdengar sedikit suara hentakan dari gelas itu. "Habis gitu es-nya."

"Ya iyalah gila lo," ketusnya. "Gue dihukum hormat bendera sampe jam istirahat, dan lo masih nanya gue capek apa enggak?" ia menaikkan kedua alisnya.

"Ya maaf. Kan cuma mastiin," kata Raina. Kemudian kembali mengunyah bakso kesukaannya yang setiap hari dia beli di kantin Bu Retno.

"Kalau aja gue nggak ngikutin ide cowok sialan itu pasti gue gak bakal di hukum tadi," celotehnya. Tangannya memutar-mutarkan sedotan di dalam gelas es yang isinya sudah di teguk habis. "Untung gue nggak pingsan! Kalo gue pingsan, mati anak itu di tangan gue!"

"Evan maksud lo?" tanya Raina memastikan

Pertanyaan Raina membuat Windy memberhentikan kegiatannya lalu melirik ke arah Raina.

"Evan Sandi Sadega, 'kan?" ulang Raina. Kini Windy semakin bingung dibuatnya. Kenapa Raina bisa mengenal cowok gila itu?

"Lo kenal?" Lagi, alisnya ia angkat sebelah.

"Lo nggak kenal dia siapa?" Windy menggeleng seketika mendengar pertanyaan Raina. "Yang gue tau, sih, dia dan temen se-geng nya paling sering masuk ruang BK. Yang nggak pernah taat aturan dan selalu berantem." Raina melanjutkan minumnya hingga es berwarna tersebut hanya tersisa sedikit dalam gelasnya.

Windy memalingkan pandangannya. "Pantes aja gayanya kayak gitu, amit-amit dah kalau gue dapat cowok kayak dia," celetuk Windy.

Raina tersenyum. "Hati-hati sama omongan," ucap gadis itu.

"Meskipun gue dikasi pilihan hidup sama dia atau sendiri seumur hidup, gue pasti milih opsi ke dua-lah." Ia mengangkat gelasnya berusaha mencari air diantara es batu yang menggumpal.

Gadis itu berdiri, menggeser kursi yang tadi dia duduki agar bisa keluar.

"Mau kemana lo?" tanya Raina yang menyadari pergerakan Windy.

"Mau mesen es teh satu lagi. Lo mau mesen juga?"

"Boleh, deh."

Sementara dari beberapa meja mereka, Rai sejak tadi memperhatikan kedua perempuan yang berada tidak jauh dari meja dia dan teman-temannya berada. Tangannya mengaduk-aduk nasi goreng yang sejak tadi ia belinya tapi belum juga dimakan.

Dia terus saja memperhatikan kedua perempuan itu sampai salah satunya meninggalkan temannya yang masih memakan makanan kesukaan nya.

"Woi! lo kenapa sih?" Vano menyenggol tangan Rai. "Bengong aja dari tadi."

"Tau, nih, makanannya aja belum dimakan," sambung Kevin.

"Udah sini buat gue aja," Angga menggeser piring nasi goreng milik Rai, tetapi langsung ditarik oleh sang pemilik.

"Enak aja lo, gue juga laper kali," ketus Rai. "Lagian lo nggak ada kenyangnya apa? Udah makan dua piring juga."

"Piringnya doang," sambung Evan lalu terkekeh.

"Enak aja, lo kira gue pemain kuda lumping yang doyan makan beling," celetuk Angga, laki-laki yang satu ini memang banyak makan. Tapi badannya masih saja tidak terlihat gemuk.

"Cewek yang dihukum sama lo tadi siapa, sih?" tanya Kevin yang baru saja mengingat kalau Evan baru terbebas dari hukumannya. "Cantik lagi," lanjutnya.

"Biasa ... calon pacar," kata Evan yakin. Kali ini ia berkata jujur. Berbeda dengan orang lain yang lebih suka melihat senyum seorang gadis, Evan justru lebih suka melihat gadis yang bersamanya tadi dengan wajah cemberut. Menurut Evan, Windy-nya begitu menggemaskan.

Nata yang menyadari percakapan mereka langsung menoleh dan berhenti mengunyah nasi goreng yang baru sesendok di makannya.

"Anjir. Jadi suka pada pandangan pertama nih ceritanya?" tanya Vano kemudian terkekeh.

Evan mengegdikkan bahunya kemudian berdiri hingga terdengar suara saat bangku yang tadi di dudukinya bergeser dengan lantai kantin.

"Mau kemana lo?" Kevin yang berada tepat di sebelahnya langsung bertanya. Agak aneh memang jika Evan meninggalkan teman-temannya saat berkumpul seperti ini, karena yang Kevin tau Evan sangat setia kawan, sampai-sampai dia tidak pernah meninggalkan teman-temannya.

"Mau pacaran ...." Kepalanya bergerak mengarah ke Windy yang sebentar lagi sampai ke mejanya. Sedangkan Raina sudah setia menanti es yang Dibelikan Windy.

Semua mata mengarah ke arah yang di tunjukan Evan. Angga mengangguk sambil mulutnya membentuk vokal O tanpa bersuara.

"Semoga sukses, ya bro!" Vano mengacungkan jempol ke arah Evan.

"Oke." Evan berjalan menuju ke meja kedua perempuan yang bersahabat sejak SD itu. Dilihatnya Windy baru saja meletakkan kedua es teh favorit mereka kemudian tubuhnya juga ikut duduk di bangku. Tanpa mereka sadari Evan berjalan menuju mereka.

"Gue balik ke kelas duluan, ya." Rai bergegas pergi.

"Lah, cepet banget lo?" Kevin menoleh ke arah Rai, padahal dia sudah bersiap-siap memasukkan nasi goreng ke mulutnya, tapi karena mendengar perkataan Nata dia mengurungkan niatnya.

"Gue ... ada urusan sama anak IPS," katanya berbohong. Sebenarnya itu hanya alasannya saja. Tanpa menunggu jawaban dari teman-temannya Rai langsung bergegas meninggalkan kantin.

A/N:

RWAM bakal kebut update nih, karena ada sesuatu yang mau aku sampein di bab akhir.

Mau nanya dulu deh, part ini gimana?

Rain, Wind and Mine  (SUDAH TERBIT) Where stories live. Discover now