8 | Kekesalan yang lain

1.1K 100 74
                                    

Hari ke tiga Windy di rumah neraka.

Ia baru saja menuruni satu per satu anak tangga. Tetapi pandangan di meja makan sana, membuatnya langkahnya terhenti.

Di meja makan itu, mamanya dengan sang suami sedang sibuk menyuapi anak berumur satu setengah tahun itu makanan. Ia menatap laki-laki itu penuh benci, laki-laki yang membuat hati ayahnya hancur seketika.

Menghentakkan kakinya kuat, sengaja agar orang-orang itu menoleh, kemudian ia melangkah pelan ke arah sang mama sebelum berucap dengan nada sedatar papan.

"Aku berangkat, Ma."

Gadis itu tidak langsung beranjak, ia sengaja berdiri cukup lama demi mengetahui respon Mely--mamanya. Ia pikir, mamanya akan menyuruhnya sarapan terlebih dahulu meskipun Windy akan menolak jika benar-benar diajak makan.

Sebuah ajakan yang ia harapkan bukan untuk mendapatkan sepiring nasi goreng buatan Mely. Tetapi ia sedang berusaha menemukan perhatian yang selama ini terkubur dalam.

Namun, respon Mely justru mengangguk sebentar.

"Belajar yang bener," katanya setelah mengangguk. "Pulang sekolah langsung pulang ke rumah. Mama nggak suka anak mama keluyuran."

Tanpa pernah Mely ketahui, Sebening air menggumpal di pelupuk mata. Ia merasakan nyeri saat sadar bahwa kepedulian itu benar-benar sudah musnah entah kemana. Windy menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya yang perih.

Ia melirik Mely sebentar, kemudian menatap benci anak kecil dan laki-laki paruh baya yang kin imenatapnya prihatin.'

"Kamu enggak mau makan dulu?"

Windy tidak menjawab, ia memilih beranjak dari tempat itu secepat mungkin.

Baru tiga hari ia berada di rumah ini, tetapi rasa sedihnya sudah menumpuk setinggi langit. Rasanya ingin sekali ia pulang ke rumah papanya.

Meskipun di rumah papa ia hidup serba berkecukupan, setidaknya ia merasa masih punya pelindung. Papanya memang sibuk bekerja, tapi di sela-sela waktunya di rumah ia akan mengajak anaknya untuk mengobrol. Papanya berusaha menjadi orangtua yang baik bagi kedua anak perempuannya.

Gadis itu langsung masuk ke dalam mobil Arda saat melihat sahabatnya sudah ada di depan rumah.

"Cemberut mulu!" Seru Arda saat gadis itu duduk.

"Diem lo!"

Cowok itu tertawa kemudian menjalankan mobilnya. Berteman sejak kecil dengan gadis itu sudah membuatnya memahami bagaimana karakternya.

Kata orang, tidak ada persahabatan yang murni, salah satu diantaranya pasti akan jatuh cinta. Tetapi persahabatan mereka benar-benar murni, tanpa rasa cinta sedikitpun. Hal itu terjadi karena sejak diperkenalkan oleh orangtuanya, Arda diminta menganggap Windy sebagai adiknya, sebagai gadis yang harus ia lindungi selaku abang.

"Kenapa?" tanya Arda lembut. Ia melirik ke arah Windy sebentar.

Merasa tidak dijawab, cowok itu kembali melanjutkan, "Kesel sama nyokap?" tepat saat kalimat itu diucapkan, helaan napas terdengar dari bibirnya.

"Gue pengen balik ke rumah papa," ucap Windy pelan. Namun, Arda dapat menangkap jelas kesedihan di dalamnya.

"Nggak bisa, Wind."

Gadis itu sontak menoleh. "Kenapa nggak bisa?"

"Lo tau kenapa nyokap minta lo tinggal di rumahnya?"

Windy memutarkan bola matanya. "Nggak peduli gue apapun alasannya."

Decakan terdengar dari mulut Arda. "Dengerin gue dulu kenapa, sih?"

Rain, Wind and Mine  (SUDAH TERBIT) Where stories live. Discover now