28 | Kekesalan yang terungkap

616 32 2
                                    

Raina baru saja ke kantin membeli satu roti untuknya, dan berhenti di taman saat melihat Windy duduk disana.

Helaan nafas terdengar dari bibirnya, dia ragu untuk mendekat dan berusaha mengajaknya bicara. Windy diam disana memandang kearah depan tanpa ekspresi. Entah apa yang dipikirkannya namun yang dilihatnya Windy murung.

Akhirnya Raina melawan kegugupannya, melangkah pelan dan duduk disebelah Windy hingga perempuan itu menoleh. "Hai!" ucap Raina ragu.

Tak ada balasan apapun dari Windy, dia hanya menampilkan wajah datar lalu berdiri. "Tunggu Wind." Raina menahan tangan Windy sebelum dia benar-benar pergi.

"Lo mau apa?" kata Windy, dia tak menoleh ke arah Raina sedikitpun.

"Gue pengen cerita ...," lirih Raina, lalu menarik tubuh Windy untuk duduk. Windy menurut. "Gue lagi ada masalah sama kelua—"

"Terus, lo nggak mikir masalah gue?" potong Windy cepat. Ia kembali menjatuhkan tubuhnya di atas bangku besi itu.

Raina menatap lekat mata Windy. Ia tak boleh menangis di sini, ia harus selesaikan semua permasalahan ini. Raina ingin Windy—nya kembali. "Gue nggak tau harus ceita ke siapa selain elo, Wind."

Windy tertawa meremehkan. "Acha? Debby? Kemana sahabat lo yang katanya selalu peduli? Kemana mereka yang selalu ngertiin, mentingin, dan meng-istimewakan elo?" Alisnya terangkat menatap Raina. Ia menekankan setiap kata pada kalimat menandakan bahwa dirinya benar-benar sedang kesal.

"Wind? Lo kenapa sebenarnya?"

"Gue nggak papa!" Windy sengaja menekankan kata nggak papa.

"Nggak usah bohong ...."

"Terus kenapa kalo gue bohong?"

Raina menahan air matanya. "Gue ... gue pengen lo cerita semuanya ke gue, kalau gue salah gue minta maaf," katanya.

Windy masih diam, tadi dia menatap kelain arah sejak sadar mata Raina mulai berair.

"Elo orang yang paling gue tunggu pas temen-temen ngejenguk gue, tapi lo malah pergi sama Kak Arda ...."

"Salah gue minta Arda nemenin gue jalan-jalan di hari ulang tahun gue? Salah gue minta perhatian dari satu orang sementara elo udah dapat beribu perhatian? Ha?"

Raina diam tak mengerti, kini Windy menoleh ke arahnya, menatap lekat mata Raina yang mulai berair.

"Acha, Debby, lebih peduli sama lo. Arda suka sama lo dan Rai juga!" tegasnya. Akhirnya ia mengeluarkan segala kekesalannya selama ini, segala alasan yang membuatnya memilih menjauh dari sahabat sejak kecilnya itu.

Alis Raina tertaut. "Rai? Kenapa lo bawa-bawa Rai?"

"Gue takut Arda nggak peduliin gue kalau elo bener-bener jadi pacarnya, gue juga pengen di istimewa-in Acha dan Debby, gue juga—"

"Lo nggak jawab pertanyaan gue." Mata Raina memerah.

Windy menghela nafas, berusaha tak peduli dengan air mata Raina yang sebentar akan tumpah. Dia juga berusaha membekukan hatinya agar tak peduli apapun mengenai Raina.

"Raian Tri Mahardika ...." Windy memberi jeda, tatapannya sinis ke arah Raina. "Rai itu Dika ... Dika, orang yang nggak pernah gue lupain sampai sekarang. Dan elo, lo tega ngerebut dia dari gue!" Kini suaranya meninggi.

Air mata Raina tumpah, Windy menoleh ke arah lain. "Lo tega ngerebut harapan gue, dia dan Arda itu sumber kebahagiaan gue! Lo tega ngerebut mereka dari gue!"

Tanpa sadar air matanya ikut tumpah. Ia menghapusnya kasar. "Lo nggak cukup punya kebahagiaan segitu banyak? Mama, Papa, keluarga, sahabat? Dan sekarang lo mulai cari perhatian dari tante Sulis—Mamanya Rai."

Mendengar itu, Raina terdiam.

Dia tertawa sebentar. "Lo pasti pernah dengar nama Ira dan lo nggak pernah sadar, 'kan kalo itu gue?" Gadis itu tertawa hambar. "Mungkin lo tau, tapi lo berusaha nggak peduli!"

"Wind ...." Raina mengusap air matanya.

"Keluarga, udah cukup bikin gue sedih terus! Dan lo bikin gue tambah lebih sedih lagi."

Windy menyelipkan Rambut sebahunya di belakang telinga. Menghapus air matanya lagi.

"Maaf kalau gue jadi sumber kesedihan lo. Gue pergi, Wind." Raina beranjak dari tempatnya dengan mata sembab, air mata masih terus mengalir dari matanya.

Seharusnya tadi dia tidak datang menemui Windy, seharusnya tadi dia tidak perlu berusaha mengajaknya bicara, dan seharusnya ia tak seharusnya memperkeruh suasana.

~®w~

Raina mejamkan matanya lalu mendengus keras. Harusnya dia tau, kalau Windy semarah itu padanya, seharusnya dia tau Rai itu Dika saat membaca Nametag milik laki-laki itu, seharusnya dia tau, bahwa dia penyebab kesedihan Windy.

Ia menekuk lutut, membiarkan kepalanya tenggelam pada lipatan tangan. Ia terisak, menangis sejadi-jadinya tanpa peduli jika ada yang mendengar.

Dirinya sadar, ia masih belum mengenal Windy seratus persen. Meskipun dia merasa sudah begitu mengerti keadaan sahabatnya itu.

Setelah bertengkar hebat dengan Windy tadi dia tidak kembali ke kelas untuk istirahat, gudang menjadi tempat pilihannya setelah berusaha mencari tempat sepi dan tenang.

Meskipun disana gelap, dia tak peduli. Dadanya terasa sesak, setelah pertengkaran orangtuanya kemarin ini adalah penyebab kedua kesedihannya.

Ia hanya ingin menceritakan segala kesedihannya kepada Windy, menceritakan betapa sakitnya dia mendengar ucapan itu, betapa takutnya dia akan hal-hal yang berkemungkinan besar setelah pertengkaran orang tuanya.

Sejak kecil dia berteman dengan Windy, dia sudah terbiasa melihat Windy marah kepadanya, namun, tidak separah ini.

Biasanya sahabatnya itu akan meminta maaf setelah satu hari tidak bertegur sapa.

Sudah cukup dia menjadi penyebab kesedihan sahabatnya, jangan lagi. Setelah ini dia akan menghindar dari Acha, Debby, Arda dan yang jadi daftar pertama orang yang akan dia jauhi setelah ini adalah Rai, meskipun harus merelakan perasaannya tak terbalas.

Setelah sesak di dadanya terasamereda meskipun sedikit Raina memutuskan mengambil ponselnya.

Rainakia R
Setelah tampil besok gue minta lo jauhin gue.

Raina kembali di posisi semula meskipun beberapa detik ponsel di tangannya berdering bertanda ada seseorang yang menelponnya. Ia tak ingin peduli itu.

Sekali, dua kali, hingga beberapa kali ia mengabaikan panggilan telepon yang dia sudah tau tanpa melihat nama penelpon.

Lagi-lagi dia terisak, kesedihan itu muncul lagi, seharusnya Windy ada disini memeluknya, menceramahinya dengan kata-kata yang tidak masuk akal agar dia tertawa kemudian menyanyikan lagu kesayangan mereka.

Kali ini tidak ada Windy, hanya ada dia dan suara di dalam kepalanya. Isakannya semakin keras.

Seharusnya Windy disini,namun kini perempuan itu yang menyebabkan kesedihan ini.

Raina mengangkat kepala, berusaha menguatkan dirinya sendiri dan berdiri.

Namun baru saja ia keluar pintu, tubuhnya menabrak seseorang, dilihatnya wajah dingin Rai sudah berdiri di depannya.

Laki-laki itu pasti mendengar isakan Raina.

Raina menunduk, tak berani mengangkat Kepala, dia ingin pergi dari tempat itu. Baru selangkah dia beranjak, tangannya dicekal oleh Rai.

"Udah?" katanya mendekat kearah perempuan itu. "Udah bisa cerita ke gue?"

"Gue mau pergi!" lirihnya.

Tanpa ia duga, setelah ucapannya itu Rai melepas cekalannya. Membiarkan ia melangkah menjauhi cowok itu.

Sementara Rai mengetikkan kata-kata di atas layar ponsel.

Raian Tri Mahardika

Istirahat, nanti gue bawain es batu buat kompres mata lo.

Rain, Wind and Mine  (SUDAH TERBIT) Where stories live. Discover now