9 | Perpus dan tatapan mata

984 89 32
                                    

Awalnya Windy menduga Evan akan membawanya kembali ke kelas tanpa ketahuan oleh guru BK maupun guru lain. Namun, ternyata dugaannya salah besar saat menyadari tubuhnya justru diseret menuju ruang BK.

Windy tahu bahwa cowok ini benar-benar nekat, tetapi ia tidak pernah menduga bahwa Evan akan melakukan hal segila ini. bahkan ia rela membuat dirinya ikut dihukum asalkan Windy juga dihukum.

Ternyata cowok isialan itu emang lagi cari mati!

Perpustakaan menjadi pilihan Bu Ros untuk menghukum mereka berdua.

"Lo marah sama gue?" tanya Evan saat Windy merapikan posisi buku yang sebelumnya berserakan.

Windy tidak menanggapi orang gila di sebelahnya, ia memilih diam dan menyelesaikan hukuman dengan cepat agar segera kembali ke kelas.

Ia mengambil buku sejarah yang bertumpuk di bagian buku biologi, ia bergerak melewati Evan menuju rak buku sejarah. "Bikin kerjaan aja, sih, ini! Masa buku sejarah ditaro di rak biologi," kata Windy kesal meskipun ia tidak berharap cowok itu menjawab. "Suka baca tapi pemalas, sama aja dong."

"Suka marah-marah tapi gue sayang, gimana, dong?" jawab Evan sedetik setelah gadis itu berbicara.

Windy menatapnya datar, lalu melanjutkan pekerjaannya demi mengabaikan keberadaan cowok ini. ia tidak peduli apapun yang Evan bicarakan. Ia bersumpah akan membenci cowok ini selama ia berskolah di SMA Cendrawangsa.

Evan mengikuti pergerakan Windy. "Lo nggak suka berduaan sama gue?" tanya Evan kemudian.

"Enggak," balas gadis itu singkat. 

"Tapi gue suka, gimana?" senyum jahil tercetak di bibirnya.

Alasan sebenarnya mengapa ia membawa gadis itu ke ruang BK adalah, agar bisa memiliki waktu lebih lama bersama Windy. Tidak peduli dengan dirinya yang akan ikut-ikut di hukum.

Evan mencekal tangan gadis itu kemudian menariknya untuk duduk pada kursi yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. "Karena ini salah gue, biar gue yang selesain semuanya."

Ini memang kesalahannya, bukankah setiap kesalahan harus ada pertanggung jawaban?

Windy mengangkat alisnya kemudian kembali berdiri. "Biar gue yang aja, nanti sengaja lagi lama-lamain."

Cowok itu menghentikan pergerakannya, kemudian ia memegang kedua bahu Windy. Mata mereka menyatu beberapa saat, sebelum Evan berucap, "duduk, gue nggak mau lo capek."

Perlakuan Evan membuat Windy terkesiap, ia mengerjapkan matanya berkali-kali juga menahan napasnya saat mata mereka menyatu beberapa detik

*****

Suasana kantin SMA Cendrawangsa yang luas membuat cowok itu cukup sulit menemukan orang yang yang ia cari. Matanya mengedar ke penjuru kantin, memperhatikan satu per satu gadis yang duduk di sana. beberapa detik setelahnya, matanya berhenti bergerak saat melihat seorang gadis berambut panjang dengan segelas Pop Ice coklat di depannya.

Dari yang Arda perhatikan, Raina sejak tadi menatap ponselnya, seperti sedang menghubungi teman-temannya. tidak perlu bertanya siapa yang sedang gadis itu hubungi saat ia teringat dengan Windy yang sedang dihukum bersama Evan di perpustakaan.

"Yang lain kemana?" tanya Arda setelah sampai di dekat Raina.

"Astaghfirullah, Kak, aku kira siapa," ucap Raina sembari mengelus dadanya.

Arda tidak menjawab, melainkan tersenyum manis menatap gadis itu. "Tumben lo ke kantin sendirian," katanya setelah duduk.

Raina menggedikkan bahunya. Ia tidak tahu dimana keberadaan Windy saat ini, tadis saat jam pelajaran pertama dimulai ia meminta izin ke kamar mandi, tetapi setelahnya gadis itu tidka kembali sampai bel istirahat berdering. Sementara Acha dan Debby lebih sering berada di ruang ekskul model ketika istirahat tiba.

"Acha sama Debby lagi di sekretariat sih, kalo Windy ...." ucapannya terhenti kemudian menatap Arda. "Kak Arda nggak liat?"

Cowok itu diam sebentar. Tadi saat ia izin ke kamar mandi dan perpustakaan, ia sempat melihat dua orang di dalamnya. Lewat jendela kaca, Arda memicingkan mata untuk memastikan bahwa yang ia lihat adalah Windy.

Gadis yang ia tebak adalah Windy itu sedang tertidur dengan kepala yang ia rebahkan pada meja di depannya, sementara cowok itu sibuk mengepel lantai.

"Gue tadi lihat Windy-"

"Di mana, Kak?" potong Raina karena penasaran.

Cowok itu terkekeh sebentar. "Gue liat dia di perpus, sama Evan anak IPS lima."

Raina melebarkan matanya. "Yah ... pasti di hukum lagi." ia memang tahu bahwa cowok itu adalah cowok yang tidak taat aturan, tetapi ia tidak pernah menyangka bahwa Evan akan membawa Windy dalam aksinya.

"Kayaknya dia suka ke Windy," tutur Arda karena teringat dengan apa yang ia lihat tadi. Ia sempat menangkap pandangan saat cowok itu justru nebatap Windy dengan tatapan beda.

Raina prihatin jika hal itu benar-benar terjadi. "Kak Arda setuju?"

Cowok itu mengangguk semangat. "Setuju aja. asal dia nggak bersikap berlebihan ke Windy. Kalo sampe itu terjadi, gue yang langsung turun tangan."

Ia tersenyum tipis, ia tau bagaimana sayangnya Arda pada sahabatnya.

"Tapi, Kak, Evan itu-"

"Bandel? Langganan Bolos? Sering masuk ruang BK?" potong Arda.

Raina terdiam kemudan mengangguk.

Cowok itu tersenyum sebelum menjawab. "Setiap orang punya sisi baik. Gue tau, kok, Evan juga pasti punya cara yang beda buat bahagiain Windy." Arda menjeda ucapannya sebentar. "Lagipula, Windy emang pantes sering di hukum. Lo nggak inget kalo dia sering bolos pelajaran terus pergi ke kantin atau sekedar lewat ke kelas Dika?"

"Tapi kasihan Windy, Kak."

"Nggak apa-apa, selama cowok itu nggak ngelakuin yang aneh-aneh, gue setuju sama mereka."

"

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.
Rain, Wind and Mine  (SUDAH TERBIT) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora