21 | Upacara

641 39 3
                                    

Jam sudah menunjukan pukul setengah dua belas malam, hujanpun sudah berhenti setengah jam yang lalu. Raina tidak kembali pada kamarnya, dia memilih untuk menunggu mamanya pada sofa ruang tamu. Sesekali dia melihat keluar jendela memastikan apakah Arda masih ada di luar atau tidak. Dan benar, Arda menepati janjinya, dia masih berada di luar duduk di dalam mobilnya.

Kini tubuh Raina dalam posisi terbaring menatap plafon putih tanpa ekspresi, pikirannya sibuk menerawang tanpa arah memikirkan mamanya. Suara mobil yang bergerak membuat Raina kembali duduk dan mengintip keluar jendela kemudian melihat mobil Arda yang menjauh dari posisinya tadi.

Beberapa menit kemudian sebuah mobil berhenti tepat di depan pagar rumahnya, seorang wanita turun yang diikuti dengan turunnya seorang pria paruh baya yang sekarang berada tepat didepan wanita itu.

Kening Raina mengernyit. "Mama ...," lirihnya kemudian saat Mobil itu pergi dan wanita itu berbalik badan. Sebelumnya, Raina sempat melihat pria itu mengecup kening sang mama sebelum dia beranjak pergi.

Suara pintu terbuka mengalihkan pandangannya. "Ma," panggil Raina, pipi Raina memanas dan berusaha mengatur napas agar air matanya tidak tumpah saat itu.

Devi menoleh, menatap sang anak yang sedang menahan air mata. Tak ingin air mata anaknya tumpah dia berkata pada lain arah. "Kamu belum tidur?" Devi tau bahwa anaknya baru saja melihat dia diantar oleh pria tadi.

Raina masih diam, dia masih berusaha mati-matian agar air matanya tidak tumpah, dia menarik nafas panjang kemudian dibuangnya berlahan. Sesaat bibirnya mengukir lengkung menatap Devi. "Lagi nungguin Mama, tumben pulangnya lama."

Devi diam cukup lama saat menyadari ekspresi sang anak. Ia yakin, anak gadisnya ini melihat dirinya diantar pulang oleh laki-laki lain. "Ahh iya, Mama ikut acara reuni." Devi berusaha untuk tidak memandang anaknya.

"Ma ... lain kali jangan pulang kemaleman, ya," kata Raina masih berusaha tenang. "Papa masih diluar kota, Raina takut sendirian."

Devi tersenyum memandang anaknya, mengelus pipi anaknya kemudian memberi sebuah kecupan pada kening Raina.

Dia sudah berumur 16 tahun, tapi jika didepan Mamanya dia seolah masih berumur 5 tahun yang selalu ingin didekat Mamanya. "Kamu tidur ya, Mama masuk duluan." Devi kemudian beranjak dari tempatnya berdiri.

Tepat setelah tubuh sang mama beranjak, air mata Raina yang tadi mati-matian gadis itu tahan kini meluncur dengan bebasnya, membiarkan segala rasa takut maupun sedihnya tertumpah di sana.

Sementara di depan pagar, setelah Arda memutar mobilnya sedikit menjauh dari rumah Raina dia melihat semuanya, melihat Mama Raina dengan laki-laki yang tidak dia kenal.

Arda melihat semuanya ....

~®w~

Senin adalah hari paling menyebalkan bagi setiap siswa dan siswi, karena mereka harus melaksanakan upacara bendera tanpa pengecualian. Berdiri selama hampir satu jam di lapangan bersama teriknya mentari pagi.

Beberapa siswa dan sisiwi yang mengikuti ekskul PMR berdiri pada berisan paling belakang dengan seragam PMR mereka, berjaga-jaga kalau ada salah satu peserta upacara yang tidak sanggup mengikuti upacara atau bahkan pingsan.

Raina berbaris pada barisan paling belakang, karena memang dia baru saja datang dan hampir terlambat. Pikirannya kosong dan memandang datar ke depan, dia sempat melihat teman-temannya yang berada pada barisan depan, tetapi tidak menoleh kearahnya.

Sejak kejadian tadi malam pikirannya melayang entah kemana, seakan hasratnya untuk melakukan apapun hilang, bahkan pagi ini tak ada sekalipun senyum yang hadir dibibirnya meskipun orang-orang yang mengenalnya melemparkan senyum.

Rain, Wind and Mine  (SUDAH TERBIT) On viuen les histories. Descobreix ara