22 | Pekan raya

637 40 1
                                    

Windy duduk setelah meletakkan piring bakso pada mejanya, dia memilih pergi sendirian ke kantin saat kedua temannya beranjak ke perpustakaan. Matanya menatap layar ponsel yang menampilkan notifikasi pesan grup.

Beberapa pesan yang dikirim untuk Raina kini membuatnya berdecak, kemudian diletakkan ponselnya di sebelah piring miliknya tanpa menekan ikon back.

Ia meneguk es jeruk yang dia pesan tadi bersamaan dengan bakso yang kemudian akan dikunyahnya.

Suara benturan meja dengan mangkuk bakso terdengar pada meja Windy, ia menoleh mendapati Evan yang sudah duduk di depannya dengan sebuah senyuman jahil di bibirnya.

Pasti ada masalah lagi.

"Gue duduk disini, ya?"

Gadis itu memutar bola matanya tak peduli. Membiarkan orang di depannya ini mengoceh tanpa berniat membalas segala ucapannya,

"Sahabat lo sakit, ya?" tanya Evan saat membaca pesan grup yang masih tertera pada ponsel Windy. "Siapa namanya? Raina?"

Mata Windy bergerak melirik Evan lalu mengambil ponselnya ditangan Evan.

"Bukan urusan lo." Gadis itu menekankan setiap kata dari kalimatnya barusan.

Evan tersenyum tipis sebelum sendok ditangannya bergerak mengambil beberapa bakso dimangkuk Windy. Mata Windy sontak melebar.

"Lo apa-apaan sih? Nggak bisa, ya, kalo nggak bikin gue kesel seha ...." Windy terdiam saat tangan Evan bergerak menukar mangkuk baksonya dengan mangkuk bakso gadis itu.

Evan tersenyum setelahnya. "Gue makan mie-nya aja, lo suka bakso, 'kan?" Alis Evan terangkat sebelah.

Windy tersenyum simpul. "Makasih," katanya singkat kemudian melahap kembali bakso itu. Sementara Evan lebih memilih menangkupkan kedua tangannya untuk memandang wajah Windy daripada memakan makanan miliknya.

**** 

Jam menunjukan pukul enam sore, Windy baru pulang setelah berkutat pada latihan baris-berbaris. Evan sendiri memilih duduk di bangku koridor kelas sepuluh untuk menunggu Windy.

Motor Evan berjalan dengan pelan, seolah-olah sedang menikmati masa-masa perjalanannya bersama gadis yang ia sukai. Padahal bukan hanya kali ini ia mengantar Windy pulang.

Alis Windy mengerut saat menyadari bahwa jalan yang mereka lewati dari tadi bukanlah jalan pulang menuju rumahnya. "Van, serius dah ini bukan jalan ke rumah gue." Windy menggeleng pelan.

"Gue tau."

"Terus?"

"Gue mau ngajak lo jalan-jalan."

Mata Windy melebar. "What!" Windy membuang nafasnya kasar. "Lo gila? Seneng dimarahin mama gue." Ia menepuk dahinya pelan. "Astaga Evan ... gue nggak ngerti, ya sama pemikiran lo! Segitu senangnya bikin gue ke—"

"Sst!"

Windy terdiam mendengar desisan itu.

"Gue udah izin sama mama kemarin, lagian itu mulut nggak bisa di rem apa? nyerocos aja." Evan terkekeh.

"Mama? Lo kok manggil nyokap gue mama juga?" Windy menekuk bibirnya lalu menaikkan tali tas ranselnya yang sedikit menurun.

"Mama yang nyuruh kemarin." Saat kemarin mengantar Windy pulang dia sempat bertemu mamanya Windy dan meminta izin disana. Bunda justru langsung memberi izin itu. Dan disana Evan justru memanggil mama Windy dengan panggilan mama tanpa meminta izin terlebih dahulu.

"Enak aja ... nggak boleh pokoknya! nyokap nyokap gue bukan nyokap lo!" Windy memilih mengalihkan pandangan pada jalanan dari pada harus memandang wajah Evan yang sesekali melihatnya kebelakang.

Rain, Wind and Mine  (SUDAH TERBIT) Where stories live. Discover now