14 | Yang akan menjauh

696 47 5
                                    

 "Napa lagi sih, Arda? Gue mau langsung pulang, nih!" Suara Windy terlihat kesal saat cowok itu tubuhnya ke kantin setelah ia baru saja keluar dar sekretariat pramuka. 

Entah apa lagi mau cowok ini sehingga mempersilahkan Windy untuk memesan makanan sesuka hatinya. padahal, ia sudah cukup kenyang setelah makan di kantin tadi. 

 "Gue nggak laper malah diajak ke kantin," gerutu Windy.

Cowok itu melirik bakso di depannya yang mulai tinggal sedikit. "Nggak laper tapi dimakan juga itu bakso di depan."

Windy yang tadi sedang memakan baksonya kini mendongak dengan cengiran yang ia tampilkan.  "Udah terlanjur lo beliin, mumbazir kalo nggak dimakan, Arda," katanya dengan nada selembut mungkin. kemudian melanjutkan makan.

"Gue suka sama seseorang, Wind," kata Arda jujur. Ia teringat dengan ucapan Ojie waktu itu, ia harus berani dekat dengan orang yang ia sukai tanpa memikirkan Windy. namun, bagaimanapun ia harus tetap memberitahukan gadis ini terlebih dahulu.

Tetapi ternyata, kalimat Arda masih belum menarik perhatiannya. gadis itu masih sibuk mengunyah makananya dengan lahap.

"Hmm, swapwa?" tanya Windy dengan mulut penuh dengan bakso. "Pasti Kak Laras, ya? Yang sering lo anter pulang? Terus biarin gue pulang dianter kang ojek," kata Windy lagi setelah menelan baksonya.

"Bukan."

"Terus siapa?"

"Lo bantuin gue, ya." Arda menaik turunkan Alisnya yang membuat Windy kesal. Ia tau, Windy akan terkejut mendengar ini. Kalimatnya tadi bukanlah bantuan dalam artian yang sebenarnya, melainkan bantuan dalam bentuk dukungan.

"Ck! Siapa?" Windy masih berkutat pada baksonya tanpa memandang cowok itu. Sementara Arda serius memandanginya.

Cowok itu terdiam cukup lama, ia menarik napas panjang sebelum menjawa, "sahabat lo."

Tepat setelah mendengar kata itu, Windy menghentikan makannya kemudian menatap Arda serius, entah kenapa pikirannya langsung tertuju pada Raina.

"Raina," ucap Arda lagi saat sorot mata Windy tepat mengarah padanya.

Entah dewi keberuntungan mana yang menghampiri Raina hari ini. Pernyataan yang Arda ungkapkan kenapa harus bersamaan dengan hari dimana Raina terpilih menjadi partner Rai?

Windy menahan napasnya, juga berusaha menolak gumpalan pahit yang kini mencekat tenggorokannya. dengan cepat ia mengalihkan pandangannya berusaha menyembunyikan segenang air di pelupuk mata.

"Gue mau pulang." Windy memakai tasnya kemudian berdiri. "Ayo!" Tangan perempuan itu menarik tubuh Arda dengan tenaganya yang tidak seberapa.

"Dengan syarat," kata Arda sebelum ikut berdiri di sebelah Windy.

"Apaan?"

"Lo harus setuju gue jadian sama Raina."

Windy tidak menjawab, dadanya terasa sesak sekarang. ia memejamkan matanya cukup lama, berusaha meredam kesedihan yang sudah menumpuk di dalam hatinya. setelah cukup lama, akhirnya matanya kembali terbuka. "Terserah lo!"

Cowok itu tersenyum tipis. ia tau, bahwa gadis di depannya ini mengucapkan kalimat itu dengan terpaksa. Arda tahu itu, tetapi sampai kapan ia harus memikirkan Windy dan merelakan perasaanya?

SAmpai kapan ia harus meredam desiran darah yang hebat setiap kali Raina menatapnya dengan senyuman manisnya? 

sampai kapan ia harus mengubur dalam-dalam perasaannya karena terlalu ingin memprioritaskan Windy dalam hidupnya?

Arda mengacak rambut Windy sebentar, kemudian berucap, "ayo kita pulang."

Windy mengangguk pelan, tepat saat Arda berjalan di depannya, cairan hangat membentuk garis lurus di pipinya. Lengkap sudah kekalahannya kali ini. Sahabatnya itu memang terlalu banyak diberi keberuntungan, keluarga yang utuh, sahabat yang selalu peduli, dan sekarang dua orang yang perperan penting dalam hidupnya mencintai gadis itu.

~®w~

Motor matic berwarna putih itu melaju melewati jalanan dengan seorang perempuan di belakangnya, dia terpaksa harus menggunakan motor ke sekolah karena mobilnya sudah diambil alih kakak laki-lakinya.

Raina hanya terdiam di belakang Rai, bingung harus memulai percakapan apa agar tidak ada keheningan ini. "Mobil lo mana? tumben pake motor ke sekolah?"

Mungkin ini kata yang tepat agar tak terjadi lagi keheningan diantara mereka.

"Kenapa? Lo nggak suka naik motor?" Bukan, sungguh ini bukan jawaban yang diharapkan Raina, atau mungkin kata yang Raina tanyakan salah.

Raina menggigit bibir bawahnya karena menyadari ucapannya yang salah. "Eng-ngg-ak gitu, soalnya kemaren, 'kan, lo anter gue pake mobil."

Rai terkekeh sebentar. "Kirain nggak suka." 

Momen inilah yang Raina tidak suka, momen dimana ia berada di boncengan cowok dan mereka harus sama-sama terdiam.

Kelopak mata gadis itu sontak tertutup saat setetes air jatuh pada matanya. Ia mengadahkan kepala keatas, lalu ribuan rintik hujan menyambutnya.

Senyum gadis itu melebar. Sejak dua minggu yang lalu, baru kali ini hujan turun lagi. rasa bahagia menjalar seolah-olah tidak berjumpa dengan kekasih bertahun-tahun lamanya.

Hari ini hujan akan kembali mengguyur tubuhnya.

Namun, dugaannya salah. Senyumnya seketika hilang saat cowok itu justru memarkirkan motornya pada halte di depan mereka. Gadis itu menghembuskan napas kecewa.

Rai menarik tubuh Raina agar ikut berteduh di halte yang tidak terlalu banyak orang itu.

Awalnya Raina menurut, sebelum gadis itu kembali melangkah ke luar halte dan membiarkan tubuhnya dibasahi oleh hujan.

"Rain!" seru Rai.

Tetapi gadis itu masih asik bermain hujan. Beberapa orang yang juga berteduh di halte menatap Raina heran.

"Udah gede masih suka main hujan juga, ya, Mas?" tanya seorang gadis yang juga berseragam SMA.

Cowok itu tersenyum sekilas. "Iya. Dia suka hujan."

Gadis itu mengangguk paham. "Pacarnya, Mas?" tanya gadis itu lagi.

Rai tidak menjawab, ia membiarkan pertanyaan itu mengambang begitu saja, lalu suara Raina membuatnya menoleh.

"Ayo sini!" seru gadis itu sembari melambaikan tangannya.

Melihat Raina yang semakin bersemangat bermain hujan, Rai ikut mengguyur tubuhnya di bawah hujan. Jika Raina berpikir Rai akan ikut bermain hujan seperti waktu itu, dugaannya salah. Rai justru menarik tubuhnya agar menaiki motor.

"Yahh!" ucap Raina kecewa.

"Kita pulang ke rumah. Lo bisa main hujan sepuas lo," kata Rai.

Apapun alasan cowok itu, Raina tidak setuju dengan tindakannya kali ini. "Keburu berhenti, Rai."

"Enggak."

Jawaban singkat Rai membuat Raina pasrah. Hujan kali ini tidak akan bisa ia nikmati seperti hujan-hujan sebelumnya.

Rain, Wind and Mine  (SUDAH TERBIT) Where stories live. Discover now