7 | Cerita teman tanpa wujud

1.3K 111 102
                                    

Angin laut sore itu berhembus pelan membuat rambut sebahu yang perempuan itu biarkan terurai sedikit berterbangan. Dia berdiri di pinggiran dermaga dengan tangannya menyangga di pembatas Kayu, dia memejamkan matanya menikmati setiap hembusan angin yang menerpa wajahnya dengan lembut.

Tenang, itu yang dia rasakan saat angin menemaninya seperti itu. Helaan nafasnya terdengar samar sebelum dia membuka kedua mata yang tadi senantiasa menutup agar lebih tenang menikmati angin dan berusaha menghilangkan beban sejenak.

Windy selalu ke tempat ini saat dia sedih maupun hanya sekedar mengunjungi teman tanpa wujudnya itu. Yang jelas, dia sangat menyukai angin. Menurutnya angin selalu ada saat kita butuh, menenangkan hati saat berhembus menerpa wajah, setelah itu kedua pipinya akan naik dan terukir sebuah senyuman manis.

Matanya melebar mengingat seseorang yang dia tunggu tak kunjung datang. pandangan menyapu ke seluruh arah berharap dapat menemukan Raina yang belum juga datang menemuinya. Sudah hampir satu jam dia di tempat ini, menikmati angin kesukaannya, dan menghasilkan sebuah senyuman tulus yang terukir manis di wajahnya.

Windy memutuskan kembali menikmati angin, di tutupnya kembali matanya berlahan. Senyumannya terukir lagi, angin sudah menjadi bagian dari hidupnya sejak dulu. Kadang, orang lupa akan ketenangan yang diciptakan angin. Bersama angin dia menjadi lebih tenang, beda dari Windy yang biasanya. perempuan itu tersenyum simpul, melepas beban yang berangsur hilang.

Kadang kita tak perlu bicara untuk mengungkapkan rasa, cukup memperlihatkan sikap yang kadang sulit diartikan .

"Udah dateng Wind? cepet banget?" Suara gadis itu tepat berada di sampingnya membuat pandangan Windy teralih.

Perempuan itu hampir terlonjak kaget karena kedatangan sahabatnya itu secara tiba-tiba. "Eh, elah elo yang telat Rain," celetuknya.

Raina mengerutkan dahi samar. "Gue? Lo tau nggak, ini jam berapa?" tanya Raina dengan dahinya yang masih berkerut.

Kepalanya menggeleng pelan. "Enggak."

Raina menghela nafas pelan. "Nih," Raina menyodorkan jam tangan miliknya yang masih menunjukan pukul 16.50 WIB.

"Eh? Masih jam 5 kurang, ya?" Windy tertawa hambar. "Gue kira udah setengah 6 aja," sambungnya lagi.

Raina menurunkan tangannya, kemudian tubuhnya dia luruskan menatap ke laut luas, diikuti juga oleh Windy. "Lo ada masalah apa sama nyokap?"

Senyum tipis tercetak, lalu gadis itu diam cukup lama. "Kemarin nyokap ke rumah." Tangannya merapikan rambut pendeknya yang tadi berantakan "Lo tau, 'kan, gimana gue keselnya sama nyokap gue."

"Iya gue tau. Tapi, 'kan dia nyokap lo, dan lo nggak boleh terus-terusan marah juga cuma gara-gara dia nikah lagi tanpa bilang sama lo." Raina mengalihkan pandangannya ke arah air yang luas di depannya itu.

"Lo nggak tau rasanya jadi gue Rain. Capek gue diginiin terus sama nyokap. Nyokap minta gue tinggal sama dia dan ngelarang gue buat balik ke rumah bokap," jelasnya. Windy, salah satu anak broken home dari ribuan anak broken home lainnya. Tetapi bedanya, Windy tak pernah menunjukan kesedihannya pada siapapun kecuali pada Raina, Arda dan pada angin.

"Kenapa nyokap lo nyuruh elo tinggal di rumahnya? bukannya dulu nyokap lo nggak pernah peduli sama lo. Bahkan pas penyakit lo kambuh nyokap lo nggak ada tuh datang walaupun cuma sekedar jenguk." Pertanyaan sederhana yang cukup membuatnya bingung.

Helaan nafasnya terdengar sejenak. "Nggak ngerti gue." Kini suaranya mulai sumbang akibat menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. "Gue tau dia kesel sama bokap, tapi kenapa gue yang jadi pelampiasan? Apapun yang gue lakuin di rumah pasti salah." Windy berusaha menahan airmatanya agar tidak tumpah sekarang.

Rain, Wind and Mine  (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang