27 | Kejadian malam itu.

613 33 1
                                    

Setelah berusaha mengabaikan perkataan Arda di taman barusan, Raina memilih mengecek barang-barang yang akan dibawanya besok. Ia sudah membereskannya tadi namun, memilih untuk mengecek apa saja yang belum dia masukkan kedalam tas.

Tangannya sibuk menceklis apa saja yang sudah ada. Nomor satu, dua hingga nomor terakhir kini sudah lengkap semua.

Namun suara berisik dari lantai bawah membuatnya penasaran. Ia memilih keluar dan berpura-pura mengambil minuman ke dapur.

Saat dia baru saja menuruni anak tangga, tidak ada apa-apa, yang dia lihat hanya ada mama, papa dan gelas pecah di dekat meja.

Mungkin tadi suara gelas itu yang jatuh dari meja. Sebenarnya dia takut jika kedua orang tuanya betengkar. Ia tau Mamanya pasti pergi dengan laki-laki itu lagi, namun dalam hati Ia berdoa supaya papanya tidak tau semua itu.

Raina kembali dengan segelas air minum yang dibawanya di tangan kanan, ia menoleh lagi ke arah ruang tamu, semua masih sama, masih seperti tadi.

Ia menaiki tangga, membuka kenop pintu dan menutupnya setelah masuk.

Tepat saat pintu itu tertutup, suara itu terdengar lagi. Tubuhnya mematung di balik pintu.

"Kalau emang dia selingkuhan aku kenapa?"

Itu suara Mama.

"Bukannya kamu juga udah nikah di sana?"

Itu masih suara Mama.

Tenggorokannya tersekat, tubuhnya mematung. Gelas yang tadi dia pegang meluncur bebas ke lantai dan pecahan kacanya sedikit mengenai kakinya.

Raina terduduk, menekuk lutut kemudian membenamkan kepalanya disana. Dia menangis, yang dia takutkan terjadi. Bukan, bukan hanya itu yang membuatnya merasa semakin sakit. Ucapan keduanya Mamanya lah yang membuatnya menangis seperti ini.

Dia beralih ke atas kasur kemudian membekap mulutnya dengan bantal agar tidak ada siapa pun yang mendengar isakannya. Dia ingin melepaskan semuanya hari ini. Melepaskan semua bebannya agar besok dia bisa sedikit lega, walau hanya sedikit.

**** 

 Siswa-siswi SMA Cendrawangsa yang mengikuti Ekskul Pramuka sejak tadi siang sudah sampai di SMA Flowerstia . Kini mereka berada di pinggir lapangan memberi semangat untuk para peserta LKBB perwakilan sekolahnya kecuali Raina yang memilih berada di dalam kelas.

Di sekolah ini para peserta beristirahat di dalam kelas yang sudah tidak ada meja dan kursi. Semuanya di bereskan agar kelas bisa digunakan dengan luas.

Raina memilih diam di kelas, tidur terlentang berbantalkan tas bawaannya. pandangannya kosong ke depan entah memandang apa.

Notifikasi whatsapp terdengar pada ponselnya, pandangannya beralih pada benda kotak itu. Dua pesan dari dua orang yang berbeda.

Kak Arda
Lo jaga kesehatan disana, takutnya sakit lg

Rai
Lo dmn? Kok nggak ada di lapangan?

Ngga mood gue.

Dia membalas pesan Rai dan memilih mengabaikan pesan Arda yang lebih dulu mengirimnya pesan.

Ponselnya berdering menampilkan nama Rai disana. "Halo?" katanya setelah menggeser ikon hijau. Kemudian memilih untuk duduk.

"Lo sehat?" Suara itu terdengar khawatir.

Raina senyum mendengarnya. "Iya gue sehat, kenapa emang?"

"Kenapa nggak ke lapangan? Tim sekolah kita sebentar lagi tampil. Bukannya sahabat lo ada di tim LKBB, ya?"

"Gue lagi males," katanya lirih.

"Keluar yuk! Gue temenin."

Raina tidak ingin kemana-mana sebelum mood-nya kembali membaik. "Enggak deh, gue di kelas aja."

"Kalau ada apa-apa bilang ke gue ya, gue ada buat lo."

~®w~

Windy mengghela nafas setelah keluar dari lapangan, penampilannya baru saja selesai. Setelah beberapa waktu berada dalam kegugupan. Ini lomba pertamanya di SMA setelah masuk ekskul Pramukalima bulan lalu, ia sudah memberikan kemampuannya semaksimal mungkin.

Sementara ditepi lapangan Rai menatapnya hingga langkahnya sampai di tepi lapangan, tanpa sadar senyumnya terukir.

Windy melihat itu, melihat Rai yang menatapnya sekilas kemudian berlalu setelah ia balas menatapnya. Perempuan itu menatap punggung Rai nanar ....

"Wind, nih minum!" kata Raya—teman satu timnya.

"Thanks." Dia mengambil air mineral itu, mengeguk isinya kemudian ikut duduk disebelah Raya sembari beristirahat.

"Kok nggak pernah lihat lo sama Raina lagi, sih? Marahan?" ucap Raya setelah beberapa detik Windy duduk.

Angin menerpa pelan wajahnya. Ia menghela nafas tak ingin menjawab apa-apa.

"Raina juga lebih sering murung akhir-akhir ini. Biasanya, 'kan dia selalu ada di dekat lo," sambungnya.

"Nggak penting Raya ... ngapain, sih, lo ngurusin urusan gue!" bentaknya galak.

Raya tertawa. "Gitu aja pake bentak gue ...."

Windy menekuk bibirnya sebal. Kenapa coba Raya nanya-nanya, emang apa pentingnya sama dia.

"Tau nggak, gue itu sebenarnya iri sama persahabatan kalian, akrab banget." Gadis bertubuh mungil itu terkekeh sebentar. "Raina lebih dekat ke elo dari pada gue yang notabene tetangganya."

Raya membuka tutup botol air mineral, meminumnya kemudian menutupnya kembali setelah selesai. "Gue kemarin dengar ribut-ribut gitu dari rumah Raina ... tapi gue nggak yakin dia akhir-akhir ini murung karena itu. Mungkin aja karna kalian marahan?"

Windy menoleh ke arah Raya berusaha tidak peduli. "Bukan urusan gue ...."

Raya lagi-lagi terkekeh. "Saran gue, lo dengar kalau dia mau cerita apa aja ke elo karna yang gue tau Raina itu cerita cuma ke orang-orang yang dia percaya."

"Ray, itu bukan urusan gue!" bentaknya lagi. "Gue nggak peduli."

"Raina nggak sekuat yang lo kira, Wind." Raya beranjak dari tempat itu. Naya memang hanya tetangga Raina, mereka tidak begitu dekat, namun, menurutnya kelemahan Raina itu sangat mudah diketahui orang lain. Raya juga pernah baca sedikit mengenai karakter tersembunyi dari orang-orang tertutup. Itu sebabnya Raya mengerti Raina.

Semoga Windy mengerti.       

Rain, Wind and Mine  (SUDAH TERBIT) Where stories live. Discover now