Pengakuan yang Tertunda

140 9 0
                                    

Kenapa harus ada perpisahan, pertanyaan itu yang terus ada di kepalaku selama beberapa hari terakhir dan puncaknya hari ini. Ada rasa bahagia bercampur sedih yang sudah kurasakan pagi ini. Terutama, sejak perias menyentuh kulit wajahku dengan berbagai produk make up. Aku tidak bisa menahannya sendiri, harus ada orang yang kuajak bicara.

"Unar, kenapa harus ada perpisahan?" Unar yang duduk di belakang bersamaku tersenyum menatapku. Bunda duduk di depan, sedangkan Ayah sedang menyetir.

"Perpisahan itu adalah tanda akan adanya sebuah pertemuan baru. Sama kayak kebahagiaan, baru terasa setelah kita ngerasain kesedihan atau sebaliknya. Beda-beda tipislah gue rasa," katanya sambil kembali bermain ponsel.

"Aaaah, Naya nggak suka perpisahan kayak gini. Rasanya sedih."

Unar melirikku sekilas. "Yaudahlah sih, anggep aja ini baru awal," sahut Danar. Dia menatapku mengejek. "Eh, sekolah lu kocak banget sih. Masa perpisahan orang tua nggak dikasih undangan. Payah amet!"

"Emang, curang yang dikasih yang pinter-pinter doang."

"Untung gue nggak satu sekolah sama lu yak. Lagian kocak sih masa perpisahan di kampus gue bukannya di mana gitu."

"Ini tuh justru biar memotivasi murid-murid biar bisa kuliah di sini tahu!"

Saling ejek terus kami lakukan sepanjang perjalanan. Unar memang begitu mengejek sekolahku sejak SMP sampai sekarang. Yakin deh, kalau nanti kami satu universitas dia tetap akan mengejek fakultasku. Bukankah manusia memang seperti itu selalu merasa dirinya atau golongannya yang hebat dan selalu merendahkan orang lain yang berbeda dan berada di bawah mereka?

"Ponsel kamu jangan dimatiin, biar Ayah sama Bunda gampang ngehubunginnya," kata Ayah memperingatkan. Aku mengangguk mengerti. Ayah menurunkanku di depan bangunan yang bertuliskan nama fakultas masa depanku kelak. Aku berjalan ke gedung tempat perpisahan diadakan.

"Naya!" Aku tersenyum.
"Tante, Om, apa kabar?" Aku menyalami orang tuanya Vidi.

"Alhamdulillah baik, orang tua kamu mana?"

"Oh, itu nanti mereka dateng pas udah selesai buat foto studio. Kan orang tua Naya nggak diundang Tante. Maklum kurang pinter anaknya. Hehe."

"Bisa aja kamu. main lagi dong ke rumah. Tante kangen tahu."

"Huhu Naya lagi sibuk banget belajar tante, biar bisa lolos ujian tulisnya. Vidi mah enak udah santai. Naya mah masih harus berjuang sampe akhir."

"Oh iya, kamu semangat ya! Nggak ada yang nggak mungkin. Tante nanti doain kamu supaya lolos!"

"Makasih tante!"
"Kebaya kamu cantik banget, Nay, bikin dimana?"
"Hihi, jahitnya di deket rumah, Tante, itu loh tukang jahit yang deket sama balai serba guna. Nah, kalau untuk desain, naya sendiri yang ngegambar."
"Wah, Tante juga kalau jahit di sana, nanti kapan-kapan Tante minta kamu yang ngedesain kebaya kondangan ya."
"Oke, siap, Tante!"

Bukankah kehidupan itu sangat aneh. Saat orang menikah mereka berlomba-lomba membuatnya megah. Berbanding terbalik dengan sekolah. Saat pertama kali menginjakkan kaki sebagai siswi SMA kami disambut secara sederhana, tapi perpisahan justru dirayakan dan dibuat begitu megah. Banyak wajah bahagia, memamerkan diri dengan pakaian terbaik mereka. Aku pun juga sama.


Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat sosok Vidi yang terlihat sangat tampan dengan setelah jas. Debaran itu datang lagi. Aku pamit ke orang tua vidi, menghampiri anaknya yang terlihat sangat menggoda. Langkahku tidak bisa tergesa-gesa karena sepatu hak tinggi yang terpasang di kaki. Tapi ini justru membuat debaran jantungku semakin menderu. Ide gila itu pun terlintas muncul.

Retrouvailles (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang