Hari Rabu Keempat belas: Kelas Terakhir

60 5 0
                                    

Padahal ini sudah biasa terjadi semenjak aku masuk universitas. Bertemu orang baru, lalu berpisah dengan sangat cepat, tapi mengapa rasanya ini berbeda. Apa mungkin karena mereka sangatlah jarang kutemui atau karena kemungkinan kami bertemu lagi sangatlah tipis? Terutama Rufan, Emil, Zahra dan Fatimah.

Aku sepertinya harus mulai menghibur diriku kembali. Seperti dulu sebelum aku mengenal mereka. Sekarang mereka masih berada di kelas ini dan duduk tidak jauh dariku, tapi aku sudah bisa merasakan kepergian mereka. Sedih sekali.

"Nyesek banget. Ya Allah," kataku pelan tangan kananku menepuk-nepuk dadaku meskipun aku tahu rasa sakitnya tidak akan berkurang.

Raya menatapku datar. Aku sudah mengatakannya dari seminggu yang lalu tanpa henti. Dia mungkin tidak merasa apa yang aku rasakan. Mungkin dia merasakannya sedikit sekali, hampir seluruh perhatiannya jatuh pada Danar.

"Udah sih, Nay, jangan lebay!"

Aku menatap Raya dengan tajam. Seenaknya saja dia mengataiku lebay. Siapa juga yang nggak akan lebay kalau harus berpisah dengan orang-orang yang disuka?

"Lu kan nggak tahu gimana rasanya jadi gue," kataku pelan.

"Kalau lu galau sekarang yang ada lu bakalan kehilangan momen hari terakhir di kelas ini loh," ucap Raya terdengar mengancam di telingaku. "Dan lu pasti lebih nyesel lagi nanti."

Baiklah, aku tidak boleh terlalu fokus pada rasa sedih karena ini hari terakhir aku bersama mereka. Jika aku terlalu fokus pada perasaanku, maka aku tidak akan bisa menikmati saat-saat ini. Jangan sampai aku menyesal karena tidak tahu apa yang terjadi di hari terakhir.

Semua teman-temanku sudah hadir di kelas, termasuk Rufan. Dia memilih duduk di depan. Hari ini ia mengenakan kaos berwarna biru polos dipadu dengan jins berwarna coklat dan sepatu kulit berwarna senada. Di sebelah kirinya, Emil mengenakan kemeja kotak-kotak hitam dan celana bahan hitam. Sepatu yang digunakan juga sepatu kulit.

Hari ini aku mengenakan pakaian yang kugunakan saat pertama kali menginjakkan kaki di kelas Arab dasar. Awal dan akhir sama karena semua akan kembali seperti sedia kala. Kemeja berwarna coklat dengan celana jins hitam sebagai bawahannya. Sementara untuk alas kaki aku mengenakan sepatu kets hitam, tidak ada yang istimewa hanya ingin mencoba agar bisa nyaman saat ujian.

Seperti yang sudah diberitahukan pak Adas, hari ini kami akan melaksanakan ujian akhir. Berhubung kelas kami mendahului jadwal ujian dari kelas Arab dasar yang lain, teknik ujian kami sedikit berbeda. Aku belum tahu seperti apa yang jelas si Bapak bilang akan ada ujian tertulis, percakapan, dan membaca.

Semalam aku tidak belajar karena perasaanku yang mengambil alih. Otakku terus saja memutar semua kejadian yang ada di kelas ini. Air mataku semalam menetes meski aku tidak menangis tersedu-sedu. Terlalu banyak kenangan indah yang membuatku tidak bisa menangis karena sedih. Perasaanku bergelut saling tumpang tindih.

Di rumah aku jadi serba salah. Menatap televisi, tapi pikiranku melayang. Mendengar Danar curhat, tapi tidak mendengarkan. Akibatnya Danar melemparkan buku perdatanya dan mengenai kepalaku. Aku meringis kesakitan dan berteriak bukan karena bukunya, bukan karena aku merasakan rasa sakit yang kualami. Semua karena aku tidak bisa mencegah mereka semua pergi.

Ayah dan Bunda memarahi Danar karena mengira aku kesakitan akibat lemparan buku itu. Mereka tidak tahu inilah alasanku berteriak semalam.

Hari ini aku hanya bisa bersama mereka selama ujian, lalu kami akan berpisah. Bukan karena perpisahannya yang membuatku sedih, tapi karena aku takut mereka akan melupakan dan mengabaikan kenangan yang pernah terjadi selama ini.

"Jangan bengong, Bapaknya udah datang tuh," kata Raya menyadarkanku.

Ujian dimulai, aku berusaha sekuat tenaga mengerjakan beberapa soal yang kubisa. Satu menit, sepuluh menit, sampai satu jam, aku tidak juga berhasil mengetahui jawaban beberapa nomer. Sisanya, aku mulai mengarang bebas. Kukumpulkan kertas ujianku dengan berat hati, aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada Pak Adas.

Tidak ada ujian percakapan atau membaca. Semua dirangkum dalam ujian tulis. Bersyukur sekali. Jika ada ujian percakapan pasti aku akan mati. Ujian tulis saja aku mati kutu apalagi percakapan.

Saat keluar kelas, aku terkejut masih banyak yang belum pulang. Kami memang berencana untuk mengambil foto setelah ujian, tapi aku tidak menyangka mereka setia menunggu selama empat puluh menit.

"Rufan, jangan pulang dulu ya. Kita mau foto bareng dulu," kataku saat Rufan keluar dari kelas. Dia tersenyum dan bergabung dengan kami duduk di koridor.

Aku senang sekali. Tuhan lamakan waktu ini. Tuhan, aku mohon.
"Tadi bisa tidak ujiannya?" tanyanya. Aku menjawab bahwa aku mengarang bebas. Kutanya balik dan dia menjawab, "Lumayan bisa kok, tapi ada satu yang tidak bisa saya jawab tadi. Ujian tadi ujian terakhir saya makanya semalam saya pelajari semuanya."

"Kamu pulang?" tanyaku di tengah keheningan. Padahal aku sudah tahu jawabannya. Teman-temanku kembali menoleh padaku.

"Iya, Ibu nyuruh saya untuk pulang dulu," jawabnya. Aku mengangguk. Ongkosnya pasti mahal sekali. Pulang pergi sudah bisa buat beli motor di sini. "Kalau Ibu tidak nyuruh, pasti saya sudah memilih untuk tetap ada di sini selama liburan."

"Gila ya, biasanya gue abis ujian langsung cabut. Tapi kok ini agak sedih pisah gitu," kata kak Karim tiba-tiba. Aku, Rufan, Dika mengangguk setuju.

Aku menatap Raya memberikannya isyarat bahwa bukan aku saja yang merasa sedih. Perasaan ini dirasakan semuanya. Aku yakin, Raya juga merasakan hal yang sama sebenarnya, tapi dia tidak mau ngaku. Kami semua terlarut dalam obrolan tidak jelas mengenai ujian tadi dan kenangan selama bersama. Kami semua sadar bahwa kami akan berpisah dan tidak tahu kapan akan bertemu lagi.

"Udah nggak ada lagi di dalem tuh, yok foto," kata Dwi membuat kami semua bangun.

"Pak, mau foto buat kenang-kenangan," kata Kak Karim meminta izin. Pak Adas mempersilakan.

***

Berakhir sudah semuanya. Foto barusan yang kami lakukan akan menjadi kenangan dan bukti bahwa kami pernah berada di kelas yang sama. Terima kasih teman-teman karena berkat kalian aku merasakan bahagia dan bisa melupakan semua perasaan sakit yang dulu kualami. Meski jika kalian pergi rasa sakit itu akan datang lagi, tapi itu tidak mengapa. Aku tetap bahagia memiliki ingatan tentang kalian. Terima kasih karena sudah hadir di waktu tersulitku mengontrol perasaan ini.

"Semoga kita nanti tetep bisa berhubungan ya," kata seseorang di belakangku.
"Iya, jangan keluar dari grup kelas ya!"
"Pokoknya kita tetap harus komunikasi."
"Ah, sedih banget ini pertemuan terakhir."
"Iya, Last meeting."

Aku tersenyum sambil menuruni anak tangga. Mereka mengatakan apa yang ingin aku katakan. Semoga saja mereka tidak melupakan apa yang mereka katakan itu. Seperti yang sudah-sudah.

***

"Kenapa muka lu, Nay?" tanya Danar saat aku duduk di kursi belakang. Semenjak jadian dengan Raya, Unar selalu menjemput kami, tetapi posisi dudukku sudah bergeser ke belakang. Baru akan pindah ke depan saat Raya sudah tidak ada.

"Ini hari terakhir dia liat Rufan, jangan disenggol nanti bisa gawat kita berdua. Pokoknya jangan biarin si Naya sendirian, dia kalau sendirian nanti galau parah. Pastiin nggak ada lagu galau yang lagi diputer di radio."

Danar tersenyum dan menggangguk-anggukan kepalanya selagi menyetel radio di mobil. Dia lalu berkata, "Bukannya lu punya line si Rufan Rufan itu, kalau kangen ya tinggal ajak main aja. Kaya pertemuan terakhir aja."

Emang sih, segampang itu sebenarnya. Tapi, selama libur Rufan balik ke negaranya. Mana bisa ngajak main. Toh, bisa jadi Rufan lupa padaku setelah dia kembali dari negaranya itu. Kami akan kembali seperti orang asing.

"Padahal, Rufan juga udah bilang buat tetap keep in touch, tapi emang namanya juga Naya, kalau nggak galauin sesuatu, ya ga seru hidupnya," kata Raya menoleh ke arahku yang mulai galau.

Retrouvailles (TAMAT)Where stories live. Discover now