Penyangkalan

142 8 0
                                    

Semua orang selama ini hanya tahu alasanku putus dengan Angga karena dia selingkuh. Fakta itu memang tidak bisa disingkirkan. Semua orang akan percaya itu jika melihat dari sudut pandangku saja. Namun ternyata akulah satu-satunya orang yang membuat semua itu terjadi.

"Setidaknya gue berani jujur sama perasaan gue ke lu, Nay, sedangkan lu nggak. Lu selama ini hanya memanfaatkan gue untuk tetap bisa lebih lama bareng dia. Sejak awal yang lu suka itu bukan gue, tapi Vidi."

Saat itu mulutku terkunci. Tidak bisa menyanggah ucapan Angga. Seharusnya aku marah-marah menangkap pacar yang selingkuh, tapi ini justru sebaliknya. Angga yang tidak berhenti mencoba menyadarkanku.

"Begonya, gue baru sadar kalau ternyata orang yang lu suka itu Vidi. Lu selalu berusaha bisa deket sama dia. Dia les bahasa Inggris lu ikut, trus dia ikut bimbel di A lu juga bimbel di A. Bahkan gue baru sadar lu juga mulai makan-makanan yang Vidi beli."

"Itu nggak bener!" Buru-buru aku memotong ucapan Angga.
"Lu nggak bisa menyangkalnya, Nay, semua orang yang liat juga bisa langsung tahu dari tingkah laku dan sikap lu selama ini."

"Kita lagi nggak ngebahas Vidi. Dia nggak ada hubungannya dengan ini semua!"

"Tentu aja ada. Gue tahu gue salah karena jalan sama cewek lain, tapi pikiran dan hati lu malah bukan punya gue justru orang itu. Kita sama aja, Nay, jadinya."
"Lu nggak bisa ngebela diri dengan bawa-bawa Vidi Ngga!"

"Kita juga nggak bisa nerusin hubungan kalau lu punya perasaan buat dia!"

"Gue emang mau kita putus!" Aku sangat emosi.
"Yaudah kita putus. Simple. Lebih baik orang lain ngeliat gue gonta-ganti pacar karena emang udah sama-sama nggak ada rasa daripada barengan padahal hati masing-masing udah pergi ke tempat lain." Aku langsung pergi setelah mengatakannya.

Begitulah kami putus di hari itu, hari terakhir aku berbicara dengan Angga di kelas sebelas. Selama berbulan-bulan aku selalu menghindarinya. Setiap dia bicara padaku, aku hanya mengangguk atau bahkan mengabaikannya sama sekali. Sering kali aku menganggapnya tak ada. Aku tahu aku sangatlah jahat pada Angga.

Semua teman-temanku mengira aku melakukannya karena marah Angga selingkuh. Padahal, nyatanya, aku marah dengan apa yang dia katakan di hari kami putus. Angga atau pun aku sama-sama tidak ada yang mau membuka suara tentang pembicaraan itu. Hingga suatu hari Ayu bertanya padaku.

"Lu masih belum sadar, Nay?"

"Apaan?"
"Kalau lu suka sama Vidi."
"Nggak! Kita cuma temen nggak akan lebih dari itu."
Ayu tersenyum menggoda. "Gue rasa Angga tahu itu, makanya dia berani selingkuh di depan lu," katanya seolah tidak mendengarkan penyangkalanku.

"Maksud lu?"

"Sewaktu kita jalan trus nangkap basah Angga, sebenernya Angga lebih dulu ngehubungin gue. Gue rasa sih dia sengaja jalan sama cewek itu di mall yang sama. Gue udah curiga kalau Angga sadar soal perasaan lu. Toh selama dua bulan gue selalu meratiin Angga beneran tulus sama lu."

Saat itu aku sadar, banyak yang tidak kuketahui terjadi di belakangku. Hal yang awalnya membuat hatiku terasa sakit. Atau, mungkin, saat itu aku merasa harga diriku terluka oleh tindakan Angga. Dan ternyata semua itu memang sudah terencana.

"Trus bukannya lu sendiri yang langsung pura-pura nggak kenal. Dan Angga besoknya dateng ke rumah lu. Dia dateng walau tahu kalian bakalan putus."

"Kenapa lu baru ngomong sekarang?"

"Karena udah lama banget kalian diem-dieman begitu."
"Dia juga ngomong hal yang sama kayak lu tahu. Makanya gue sebel."

"Jadi lu sebel sama dia gara-gara itu."

Aku menceritakan apa yang Angga ucapkan padaku hari itu. "Nay, kita itu nggak bisa memilih dicintai atau mencintai karena semua terjadi secara alami dalam kehidupan. Kita nggak bisa menentangnya lebih lama. Ikutin aja alur perasaannya. Sama kayak manusia yang nggak bisa memilih mati atau hidup, kita cuma bisa mengikuti alur takdir pencipta. Menikmati kehidupan selagi bisa, baik itu senang atau pun sedih."

Tidak hanya Ayu yang berusaha membujukku, Vidi pun melakukan hal serupa. Padahal awalnya Vidi sama sekali tidak peduli. Mungkin lamanya aku mendiamkan Angga membuatnya dan Ayu tergerak untuk berbicara padaku.

"Nay, udahlah maafin Angga. Nggak enak kalau satu kelas tapi diem-dieman gini. Gue sama Angga kan temen deket jadi serba salah kalau lu masih marah sama dia."
"Jadi lu sekarang ngebela dia?"

"Bukan begitu, coba lu bayangin kalau gue sama Ayu berantem. Gimana sikap lu?" Perumpaan Vidi membuatku tidak bisa menjawab. "Lagian kan tinggal beberapa bulan lagi kita bakalan sibuk buat ujian. Masa iya lu mau nyia-nyiain sisa waktu jadi murid SMA dengan ngebenci orang. Tuhan aja pemaaf masa lu sebagai ciptaan-Nya nggak."


Bujukan Vidi membuat aku dan Angga kembali berteman. Aneh memang, hanya ucapan seperti itu sudah membuat semua egoku runtuh. Pengakuan yang selama ini hanya tersimpan di hati kecilku akhirnya aku terima. Angga benar dan akulah yang salah.

Sejak dulu aku menyangkal jika ada yang menanyakan perasaanku pada Vidi. Bukan karena aku membohongi diriku sendiri. Aku hanya tidak ingin sadar akan perasaan ini. Aku tidak mau jika perasaan ini semakin besar dan tidak bisa dikendalikan lagi. Dan hal yang paling sangat kutakutkan adalah perlahan-lahan dijauhi oleh lelaki bernama Vidi.

"Gue pulang," pamit Vidi setelah helm kukembalikan. Sepanjang jalan pulang pikiranku berkelana ke sana kemari. Menyadari seberapa sering aku menyangkal perasaan ini.

"Hati-hati. Kalau udah sampe rumah kasih tahu gue ya," kataku mengingatkan.

"Oke," jawab Vidi tersenyum, lalu pergi.

Kita cuma teman nggak akan lebih dari itu. Kata-kata itu yang selalu kuucapkan saat ada yang menanyakan hubunganku dengan Vidi. Aku memang bahagia dengan hubungan kami yang seperti ini. Setidaknya dengan begini aku bisa tetap bersamanya sebagai seorang teman. Aku tidak bisa membayangkan jika dia menjauhiku saat tahu aku menyimpan perasaan yang orang-orang menyebutnya sebagai cinta. Rasanya pasti sangatlah menyiksa.

Retrouvailles (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang