Kapan Waktu yang Pas itu datang?

58 5 0
                                    

“Unar!” Unar yang sedang sibuk main game online tidak menghiraukanku. Aku tidak tahu permainan apa yang sedang dimainkan, dota, mobile legends, atau league of legends, bagiku terlihat sama saja. “UNAAAAAARRRRR!!!!!” teriakku lagi dengan sangat kencang.

Uda Danar menoleh hanya dalam waktu dua detik. “Nanti dulu, lagi seru,” katanya kembali serius menatap layar komputer, ingin rasanya kucabut kabelnya, agar dia menanggapi kehadiranku. Ah, sepertinya percuma saja, Unar tidak akan menghiraukanku. Aku menghela napas, kubanting pintu kamarnya, lalu segera turun mengambil minum.

“Kenapa sih, Naya?” tanya Bi Narti yang sedang asik nonton sinetron sore remaja di salah satu stasiun tv lokal.

“Naya dicuekin sama  Unar, kan sebel.” Kubuka kulkas, kuambil susu coklat kemasan dan sepotong roti sobek rasa coklat yang tadi kubeli, “Bi Narti ini roti satunya buat Bibi, tadi Naya beli dua. Roti kesukaan Bibi rasa srikaya,” kataku memilih kembali ke kamar daripada bergabung dengan Bi Narti nonton tv.

Kupandangi botol body spray dan kumpulan origami yang ada di atas meja belajarku selagi memakan roti. Ini menyedihkan. Apa yang kumakan, minum, dan kulihat sekarang masih saja ada hubungannya dengan Vidi. Dia sangat suka makan roti bersama susu kotak rasa coklat. Body spray yang Vidi pakai biasa kusemprotkan ke udara saat aku rindu padanya.

Semua tulisan di origami yang sedang kulihat juga bercerita tentang Vidi. Setiap aku memikirkannya, aku akan membuat origami. Jadi tak heran jumlahnya sangat banyak. Begitu banyak cerita yang ingin kusampaikan padanya, tapi tak bisa, jadi kutuliskan di kertas origami, lalu membentuknya hati. Mungkin jumlahnya sudah sampai seribu. Dulu aku percaya, jika sudah berjumlah seribu maka keajaiban akan datang padaku, tapi rasanya semua hanya mitos saja. Tulisanku masih belum tersampaikan padanya.

“Abis manggil langsung banting pintu!” seru Unar sebagai ganti mengetok pintu. Dia menghampiriku dengan wajah kesal. Aku juga kesal, dia seharusnya tetap mengetok pintu sebelum masuk.

“Jadi Unar lebih milih main game daripada Naya? Gitu?”
“Lu lagi dapet? Sensi banget sih,” gumamnya duduk di pinggir kasur. “Makan roti sambil masang wajah sedih gitu. Jangan galau-galau apa jadi adek gue!” rambutku diacaknya.

Aku mendengus. “Jangan ngeselin deh, Unar, Naya lagi sebel tahu!”
“Kenapa?” Unar lebih terlihat meledekku daripada peduli.

“Unar udah tahu kalau Raya itu mantannya Vidi?” tanyaku membuang bungkus roti yang sudah kumakan ke karpet. Danar mengangguk. “Kok nggak marah?”

“Kenapa harus marah? itu sampah jangan dibuang sembarangan.”
“Berarti udah tahu dari lama ya?”

“Yaiyalah, kan mereka jadian pas gue kelas tiga SMP. Waktu itu gue udah suka sama Raya, tapi dia udah pacaran sama Vidi. Emang lu marah sama mereka?”

Kali ini aku yang mengangguk. “Marah pake banget. Naya ngerasa kayak orang yang dibodohin. Masa cuma Naya doang yang nggak tahu. Unar kan tahu kalau Naya sayang banget sama Vidi. Raya pun juga tahu karena Naya selalu cerita tentang Vidi ke dia. Tapi, kenapa Raya malah nggak pernah ngasih tahu Naya tentang hubungan mereka?”

Unar memiringkan kepalanya, berpikir. “Jadi karena ini toh lu selalu nggak mau bareng gue pulang atau berangkat kampus,” katanya. “Lu marahan sama Raya?”

“Unar keluar gih! Naya mau tidur!”

“Udah berenti ngambeknya. Masa lu marah karena masa lalu orang, gue yang jadi masa sekarang dan masa depannya aja biasa aja,” ujarnya dengan percaya diri. “Naya yang gue kenal itu jauh lebih mementingkan persahabatan daripada perasaannya kan? Buktinya lu nggak mau persahabatan lu sama Vidi hancur karena perasaan lu dulu.”

Retrouvailles (TAMAT)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن