Baper dan Stiker

322 10 0
                                    

Malam hari setelah ujian nasional selesai, Danar mengetuk pintu kamarku. Aku menyuruhnya segera masuk karena pintu tidak terkunci. Lelaki berambut sebahu itu selalu mengejutkanku. Rasanya seperti melihat sosokku sendiri di cermin karena rambutnya yang panjang. Aku berani jamin, jika dia mengenakan pakaian yang sama denganku kami akan dikira kembar identik.

"Unar!" teriakku matanya melotot, terkejut. "Udah berapa kali Naya bilang, itu rambut harus dipotong!" Aku menatap rambut Unar dengan sebal.

Unar menghampiriku yang sedang duduk di meja belajar. "Ah lu Nay, ini tuh yang jadi pembeda sewaktu sekolah sama kuliah tau. Waktu sekolah gue kan nggak bisa manjangin rambut. Jadi sekarang terserah gue dong. Nggak ada guru yang bakalan ngelarang gue ini."

Aku langsung bangkit. Kujambak rambut panjangnya yang jauh lebih bagus daripada rambutku yang sering kurawat di salon. "Tapi gue tetep nggak suka rambut lu panjang begini!" Mulut Danar terbuka membentuk huruf A. Aku malu sendiri karena rambut Danar super halus padahal ia hanya menggunakan sampo dan conditioner. 

"Ahelah, Bunda sama  Ayah aja nggak ngelarang." Danar memegang tanganku kencang sehingga jambakanku terlepas. Untung saja dia tidak balas menjambak rambutku. Bisa-bisa kalau ada yang lihat kami dikira perempuan yang sedang memperebutkan lelaki yang sama.

"Gue tanya ke Bunda ya!" Aku langsung berlari keluar kamar, menuruni anak tangga secepat kilat. Bunda dan Ayah sedang duduk di sofa menonton televisi. "Bun, emang Bunda ngebolehin Unar rambutnya panjang begitu?"

Bunda menggeleng. "Kata siapa?" Aku tersenyum merasakan Bunda berada di pihakku.
"Kata Unar, Bun, katanya Ayah sama Bunda nggak ngelarang dia rambutnya panjang."
"Bunda udah nyuruh dia motong rambut dari kapan tau," jawab Bunda cepat.
"Kalau ayah?" tanyaku pada Ayah yang tampaknya serius menonton film yang sedang diputar berulang di televisi.

Ayah menatap Bunda sebentar. "Kalau ayah sih....." Ayah membenarkan posisi duduknya. "Dulu waktu kuliah rambut ayah malah lebih panjang dari Danar. Mungkin se Naya sekarang kali ya?" Ayah bertanya kepada Bunda. Aku kecewa dengan jawaban Ayah.

"Tuh denger kan, Ayah ngebolehin," kata Danar membela diri.
"Ayah mah, nggak liat apa? Muka Unar jadi mirip banget sama Naya!"
"Idih, nggak kebalik? Yang lahir duluan siapa?" balas Danar tidak terima.

"Unar.." aku memajukan bibir. Kebiasan yang selalu kulakukan setiap kali kesal.
"Yaudah, berarti lu yang mirip sama gue, bukan gue yang mirip sama lu, Nay."

Aku mendesah, lalu memutar bola mata. Ah, sialan. Aku kalah. "Tetep aja gue nggak suka kalau rambut lu panjang begitu," gumamku menatap Unar sebal.
"Oke gini deh, Nay, kalau nilai UN lu bagus. Gue bakalan motong rambut dan janji nggak akan manjangin lagi."

"Kenapa harus nilainya bagus bukannya kalau gue lulus aja syaratnya?" tanyaku setengah protes. Unar tahu syarat darinya itu sangatlah mustahil terjadi.
"Lu nggak percaya sama kemampuan lu selama tiga tahun sekolah?" Unar balas bertanya dengan nada yang paling kubenci. Menyudutkan.

"Ih bukannya gitu tahu! Gue hanya nggak yakin kalau bakalan dapet nilai yang bagus. Lagian kan UN udah selesai mana mungkin gue bisa bikin nilai gue bagus." Aku memelintir pakaian tidurku sambil menatap Danar dengan nanar. 

"Naya, Danar, kalian ganggu Ayah," protes Ayah membuat Danar yang sudah hendak berkata menjadi bungkam. "Suara tv sama suara kalian kencengan suara kalian."
"Kamu tadi pulang sekolah kemana?" tanya Bunda tidak menghiraukan protes yang baru saja Ayah lontarkan. "Katanya Bi Narti kamu pulang sore."

Aku menatap Bunda sambil mengerjapkan mata. Apa aku harus berbohong atau jujur saja? "Naya ngeliatin temen-temen pada coret-coret...." sahutku menggantung. Kepalaku masih menimang. 

Retrouvailles (TAMAT)Where stories live. Discover now