Nasib Jomblo

86 7 0
                                    

Aku terlalu bahagia tiga hari yang lalu saat Rufan meminta nomor ponselku. Selama tiga hari terakhir ini, aku terus-terusan menatap ponsel berharap ada pesan atau telepon masuk darinya. Kukira dia akan menghubungiku setelah memiliki nomorku. Ternyata tidak.

“Ngapain lu? Ngeliatin hape begitu banget,” kata Danar ketika menghampiriku yang sedang rebahan di sofa ruang tamu.

“Ngapain kek suka-suka Naya dong!” seruku tak ingin diganggu.

“Dasar jomblo, kerjaannya bengong ngeliatin hape berharap ada yang ngehubungin tapi ternyata nggak kan?” tebak Danar seratus persen benar.

“Sesama jomblo dilarang saling ngatain. Kita harus saling menghargai tahu!”

Danar nyengir sambil menggeleng. “Sorry, gue beda sama lu.” Dia menunjukkan layar ponselnya ke wajahku. Aku membaca nama Raya di sana. Ponsel segera ditarik saat aku ingin membaca isi pesan mereka. “Liat kan bedanya!”

“Awas nanti kualat sama gue, inget bagaimana pun gue punya andil besar. Coba kalau gue nggak ngasih tahu nomor Raya, emangnya lu bakalan punya? Hah!”

Unar memang meminta nomor Raya padaku dua minggu yang lalu. Sebagai adiknya dan juga sahabat Raya, aku mendukung hubungan mereka. Keduanya sama-sama orang yang baik. Bukankah orang baik pantas mendapatkan orang baik pula?

“Biasa aja kali, Nay!” Danar menjitak kepalaku. “Mau ikut gue nggak? Mau nonton nih gue,” katanya menawarkan. Aku merubah posisi dari rebahan menjadi duduk. Unar memang sudah berpakaian rapi dan wangi. Raya sangat beruntung malam minggu ini tidak di rumah seperti diriku.

“Nggak mau! Miris banget gue ikut orang yang lagi pedekate. Ogah!” tolakku cepat.

“Yaudah, jangan nyesel!” serunya segera pergi ke garasi.

Aku kembali ke posisi awal, tiduran di sofa. Ponsel kuletakkan di meja. Rasanya aku ingin menjual ponselku saja karena tidak berfungsi. Tidak ada yang menghubungiku secara pribadi. Hanya grup angkatan dan grup kelas saja yang ramai. Aku tidak berniat bergabung dalam percakapan-percakapan itu.

***

“Bun,” kataku mulai merajuk. “Naya mau nerusin kursus jahit Bun.....”

Aku menghampir Bunda yang sedang menonton televisi bersama Ayah. Mereka sama-sama menatapku bingung. Aku segera duduk di dekat Bunda, memasang wajah semanis mungkin, lalu menggelendoti lengan Bunda.

“Nanti udah Bunda bayar Naya malah sering bolos kayak waktu itu,” protes Bunda.

Aku menggeleng. “Naya janji kali ini nggak akan bolos, Bun. Beneran deh, Naya berani bersumpah,” kataku membuat tanda v dengan jari tanganku. “Naya beneran pengin nerusin kursus jahit sampai selesai. Waktu itu kan ada gangguan.”

Vidi, aku jadi teringat sindirianmu saat itu. Kupikir jika aku melanjutkannya, aku bisa menunjukkan padamu bahwa aku memang bersungguh-sungguh pada mimpiku. Aku akan membuatmu tersenyum saat memperlihatkan hasil karyaku.

“Oke,” ucap Ayah. “Tapi kali ini Naya harus bisa nunjukkin ke Ayah sama Bunda. Bukan cuman ikutan kursus aja. Kamu juga harus ikutan lomba-lomba. Kata Danar setiap tahun kampus kamu selalu ngadain fashionweek, ada lombanya juga nggak? Kalau ada, Naya harus ikut. Biar kamu bisa benar-benar mengaplikasikan keterampilan kamu itu.”

Mataku berkedap-kedip. Permintaan Ayah cukup sulit juga. “Hmmmm.... Naya cuman harus ikut aja kan? Kalau nggak menang nggak masalah kan, Yah?”

Ayah dan Bunda mengangguk. “Bunda sama Ayah nggak pernah menilai dari menang atau kalah. Yang penting kamu udah berjuang dengan sungguh-sungguh,” kata Bunda bijak.

Aku mengangguk. “Oke, kalau gitu, syarat Naya terima!” seruku semangat.

“Kalau Bunda boleh tahu, apa yang bikin Naya mau ngelanjutin kursus?”

Aku mengangkat alis. Mana mungkin aku memberitahu Bunda kalau semua itu karena aku tidak ingin lontang-lantung seperti ini. Berdiam diri hanya membuatku semakin menyesali nasib sebagai jomblo. Selain itu, sindiranmu saat itu juga telak menusuk jantungku.

“Naya udah sadar, Bun,” jawabku sambil nyengir.

Bunda dan Ayah mengerutkan kening.

***

Aku masuk ke kamarku setelah film yang ditonton kedua orang tuaku selesai. Rasanya sedih jika mengingat Danar sedang pergi menonton bioskop dengan Raya, sementara aku tadi menonton televisi bersama kedua orang tuaku di rumah. Nasib Fara pun masih lebih baik dariku, meskipun dia ada di rumah pasti dia menghabiskan malam minggu video call dengan pacarnya di Semarang.

Aku menatap ponselku. Membuka aplikasi. Memandangi kontakmu. Aku menahan diri untuk tidak memencet apa pun. Aku tidak ingin menganggumu. Pasti kamu juga sedang pergi dengan seorang perempuan. Cepat-cepat aku keluar dari aplikasi chatting, menggantinya dengan media sosial. Nasib jomblo di malam minggu, menghabiskan waktu dengan berselancar di dunia maya karena ingin melarikan diri dari dunia nyata.

Retrouvailles (TAMAT)Where stories live. Discover now