Akhir = Awal

125 11 0
                                    

Rasanya berdebar-debar. Perutku saat ini sangat sakit. Bukan karena ingin ke kamar mandi, sepertinya aku benar-benar sedang stress karena tekanan yang kurasakan sangatlah kuat. Sejak seminggu pula aku jadi tidak napsu makan memikirkan ujian hari ini.

“Lu deg-degan nggak sih, Ngga?” aku menatap Angga yang terlihat sangat santai.

“Biasa aja,” jawabnya cuek.
“Gue deg-degan banget nih.”

Angga tertawa. “Gila, gue nggak nyangka lu segitu sukanya sama gue sampe berdiri di samping gue gini aja deg-degan, apalagi kalau gue peluk lu. Pingsan kali ya,” goda Angga.

Aku mendorong tubuh Angga. “Apaan sih, gue serius tahu. Jangan malah dibercandain dong.” Tubuh Angga terpaksa mundur satu meter.

“Naya, nggak boleh gitu sama Angga! Nanti kalau Angga jatoh trus nggak bisa ikut ujian gimana?” Aku tidak menanggapi ucapan Angga. Menatapnya sebal. “Nggak usah dianggap beban, Nay. Gue tahu lu stress banget. Percaya aja kalau kita ini ditakdirin untuk jadi pemenang. Pemenang dari kegelisahan dan ketidakpercayaan kita pada diri sendiri. Lu pasti bisa! Tenang aja. Selama ada Angga semua pasti beres!”

Aku mencoba mencerna ucapan Angga. Kurasa ia benar kali ini, aku tidak boleh menganggap ini semua beban. Toh, ini bukan saatnya aku merasa tertekan di tempat ujian. Bisa-bisa aku tidak konsentrasi jika merasakan itu.

“Kayaknya lu bener deh,” sahutku pelan.

“Udah sini nonton video musik aja sambil nunggu waktu ujian mulai.”
“Lagu apaan nih?”
“Tonton aja.” Angga membagi headset-nya.

“Lu kenapa tadi nggak mau dianterin sama Vidi deh?” tanya Angga saat video yang kami tonton selesai.

Aku sudah tahu Angga pasti akan menanyakan ini cepat atau lambat. “Kasian aja kalau dia nganterin, tempat ujian lu sama gue kan sama. Mending bareng lu aja.”

“Tapi, Vidi bilang sama gue, dia mau nganterin lu survei tempat, lu juga nggak mau kemaren?” Angga berusaha mencari sesuatu.

Aku menatap gerombolan orang yang berdiri di depan kami. “Dia telat, gue udah ngomong duluan sama Unar.” Meski penasaran aku masih belum menanyakan soal pacar Vidi yang sampai sekarang tidak kuketahui siapa. Aku ingat, Vidi pernah bilang dia ingin bebas. Dia juga bilang, dia tidak punya pacar karena tidak ingin aku kesepian. Aku penasaran, tapi aku tidak ingin menanyakannya. Biar dia sendiri yang menceritakan padaku seperti yang sudah-sudah.

“Lu bukannya lagi ngehindarin dia kan?”

Aku menoleh ke Angga. “Ngehindarin apaan?”

“Abis cara lu nolaknya beda-beda tipis kalau lu lagi ngehindarin orang, Nay.”

Aku bohong. Sejak perpisahan sekolah aku memang menghindari Vidi. Setiap diajak bareng pulang les aku menolak dengan berbagai alasan, tapi dia tidak bisa dihindari secara langsung. Semua alasanku jadi tidak berarti jika sudah ada dia di depanku. Hanya saat di rumah dia bisa kuhindari.

Semangat Nay! semoga bisa ngerjain soalnya. Kerjain yang paling lu ngerti dulu. Jangan terfokus sama soal yang susah nanti kehabisan waktu. Sekali lagi semangat. Gue di rumah doain lu nih. Jangan tegang! -Vidi

Begitulah pesan yang baru Vidi kirimkan lewat aplikasi. Seharusnya aku senang luar biasa, tapi aku harus sadar dia melakukannya hanya sebagai seorang teman. Aku tersenyum masam.

Retrouvailles (TAMAT)Where stories live. Discover now