Hari Rabu Kelima: Bukan Pembicaraan Serius

88 7 0
                                    

Hari cepat sekali berlalu saat aku sibuk dengan tugas dan juga menjahit. Tahu-tahu sudah hari Rabu dan aku sedang berada di kelas Arab dasar. Sayangnya, kami ditinggal oleh Pak Adas secara tiba-tiba. Rasanya sangat sedih tidak bisa belajar seperti biasa. Benar-benar sedih. Entah kenapa, aku sangat mengagumi Pak Adas melebihi dosen-dosen jurusanku. Kalau kata Ayu, ada aura yang tidak bisa dijelaskan kata-kata. Ya, Pak Adas memiliki aura seperti itu.

“Bapaknya mau kemana sih emang?” tanyaku entah pada siapa, aku hanya tidak bisa menahan diri menggerutu di dalam kepala. Syukur-syukur ada yang menanggapinya meski hanya menjawab tidak tahu sekalipun.

Kak Dika menoleh, “Katanya dia ada rapat dosen,” jawabnya yang duduk tidak jauh dariku. Aku sangat suka dengan kepeduliannya terhadap orang lain. Dia selalu menjawab saat ada orang yang bertanya seperti yang kulakukan barusan.

“Naya,” panggil Rufan saat aku sedang menatap Kak Dika. Aku memutar kepalaku, menatap dirinya yang duduk sebarisan denganku di bagian belakang. “Kita mau mengerjakan tugasnya dimana?”

Aku mencoba mengingat siapa saja yang menjadi bagian kelompokku. Lelaki berkacamata berkemeja hitam kotak-kotak,“Kak Karim!” teriakku memanggil lelaki yang duduk di barisan depan. “Kita mau duduk dimana?”

“Di sini aja!” sahutnya menyuruhku dan Rufan berpindah ke tempat duduknya.

“Gue ke sana ya,” kataku pada Raya.
“Oke,” balasnya singkat sambil mengerling jahil. Aku tahu maksud dirinya.
“Biasa aja kali matanya,” kataku tanpa suara, tapi Raya bisa membaca gerakan bibirku. Dia tertawa.

***

“Naya, kamu bisa bahasa Rusia?” tanya Rufan mengalihkan perhatianku dari layar ponsel pada dirinya. Setelah tugas kelompok selesai kami mulai sibuk dengan ponsel masing-masing, hanya Kak Karim yang sibuk mengerjakan tugas kuliahnya, itu pun sudah tidak ingin diganggu sejak tugas kami dikirim ke surel pak Adas.

“Ah sedikit sekali,” sahutku mulai mematikan layar ponsel yang sedang membuka aplikasi Instagram. “Kebetulan semester lalu saya sekelas dengan Emil, jadi tahu beberapa kata. Ada apa memang?”

“Tidak apa-apa. Kamu hebat bisa bicara banyak bahasa.”

“Kamu juga sama, oh iya, bahasa apa yang digunakan di Azerbaijan?”

“Bahasa Azerbaijan, tapi saya lebih sering berbahasa Turki.”

“Wah, kamu bisa empat bahasa ya berarti, Inggris, Indonesia, Turki, Azerbaijan. Banyak sekali Rufan..”

“Saya juga bisa bahasa Rusia.”

“Kamu juga ngambil kelas Rusia dasarkah?”

“Tidak, belum,” sanggahnya. Tanpa sadar alis mataku mengerut. “Saat SD saya belajar bahasa Rusia di sekolah. Sama seperti di Indonesia yang harus belajar bahasa Inggris saat SD. Kamu juga hebat Naya. Kamu bisa empat bahasa, Indonesia, Inggris, Perancis, dan juga Rusia. Belum lagi di Indonesia banyak sekali bahasa daerahnya.”

“Hahaha.” Aku mulai mati gaya dengan segala pujian yang sama-sama kami lontarkan ini. “Ngomong-ngomong kamu belajar bahasa Indonesia dimana Rufan?”

“Di Bandung satu tahun,” jawabnya dengan senyum tersungging di wajahnya. “Saya diberitahu hari senin kemarin kamu mengajari Zahra dan Fatimah bahasa Indonesia?”

Aku mengangguk pelan. Entah darimana Rufan mengetahuinya mungkin mereka benar-benar sudah dekat hingga saling memberi kabar. “Kebetulan hari senin kelas saya hanya sampai jam satu, Fatimah dan Zahra tidak ada kelas. jadi itu waktu yang pas untuk kami belajar.” Aku menahan diri menanyakan Rufan dikasih tahu oleh siapa.

“Apa saya boleh ikut?”

“Tentu saja boleh. Siapa tahu kamu bisa membantu saya mengajari mereka juga. Kita sama-sama belajar.”

“Wah terdengar sangat menarik,” sahut Rufan menatapku dengan sangat antusias. Aku bisa melihat sinar keluguan dari sorot matanya.

“Oh iya, kamu kuliah di sini mengambil kelas Internasional?” Rufan menggeleng. Dahiku berkerut melihat senyuman yang perlahan terbentuk.

“Saya masuk kelas reguler. Ada kesalahan admistrasi jadi saya tidak bisa masuk kelas internasional makanya itu saya harus belajar bahasa Indonesia selama setahun di Bandung. Kalau saya ingat lagi sekarang, saya merasa sangat lucu.”

Mataku terbelalak. Berkedap-kedip takjub. “Wah! Kalau saya jadi kamu pasti saya sudah menyerah dan lebih baik memilih pulang saja.”

“Mana mungkin saya melakukannya. Saya sudah bertekad akan kuliah dengan beasiswa jadi mau tak mau saya harus menghadapi apapun itu tantangannya,” ujarnya dengan sangat serius. Aku memberanikan diri menatap matanya dengan lekat. Ada sesuatu yang selama ini selalu kurindukan. Tatapan Rufan sangat mirip dengan tatapan dirimu, Vidi.

Sudah beberapa hari aku tidak memikirkanmu dan kenapa tiba-tiba aku memikirkanmu lagi. Ah, sial semua karena tatapan itu, tapi aku tidak boleh merindukanmu. Aku harus hidup di sini bukannya berkutit dan sibuk sendiri dengan pikiran dan perasaanku.

“Kalau saya boleh tahu, cita-cita kamu apa Rufan? Jujur saja, saya sedikit bingung dengan mahasiswa asing yang belajar di Indonesia karena setahu saya, pendidikan di luar negeri itu jauh lebih baik daripada di sini. Apa kamu tidak tahu berapa banyak pejabat yang memilih sekolah di luar negeri begitu pun mereka mengirimkan anak mereka untuk sekolah di sana. Aku pun juga sama, ingin sekali bisa kuliah di luar negeri.”

Ucapanku terhenti. Kenapa bisa-bisanya aku mengatakan sesuatu tanpa kusaring terlebih dahulu dengan Rufan. Seharusnya aku bisa membicarakan hal yang lebih berguna dan menguntungkanku. Bukannya membicarakan hal seperti ini.

“Belajar dimana pun itu sama Naya, hanya saja jika kau memiliki kesempatan untuk belajar di negera lain kenapa tidak diambil kesempatan itu. Sejauh apa kau pergi kau pasti akan kembali ke keluargamu, jadi jangan takut untuk menjelajah menuntut ilmu.”

“Apa kau sama sekali tidak merindukan keluargamu?”

“Tentu saja saya merindukan mereka, tapi sekarang kan sudah ada teknologi. Jadi rasanya tidak terlalu rindu. Hampir setiap malam saya video call dengan keluarga. Tentu saja kami harus mencocokan waktu yang paling pas. Rindu itu sudah wajar dirasakan tergantung bagaimana kita bisa mengontrolnya dan menjadikan itu sebuah semangat.”

“Rufan.... kamu keren sekali.”

“Apa kamu pernah merindukan seseorang Naya?”

“Hah?” aku menatap Rufan tanpa menjawabnya. Lidahku kelu, tidak ingin menjawab bahwa ada seseorang yang selalu kurindukan, bukan hanya kata pernah seperti yang ditanyakan.

“Kalau diem berarti lagi ada yang dikangenin tuh,” timpal Kak Karim.

“Ih apaan sih Kak, lu sok tahu banget deh.”

“Gua bukannya sok tahu tapi gue emang tahu haha.”

“Udah deh, lu kerjain aja tugas lu nggak usah ikut nimbrung.”

“Udah selesai sih wek!”

Dengan selesainya tugas Kak Karim selesai pula obrolan eksklusifku berdua dengan Rufan. Masuknya Kak Karim di obrolan kami membuatnya menjadi obrolan yang tidak serius. Tapi aku tetap senang karena Rufan bisa bercanda dan lebih terbuka dari waktu ke waktu.

Retrouvailles (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang