Hari Rabu Ketiga: Pintu

90 6 0
                                    

Pintu merupakan tempat untuk masuk dan keluar. Aku mencoba memahami arti pintu bagi kehidupanku. Pintu menggambarkan ada suatu batasan yang hanya bisa dimasuki bila aku mempunyai izin dari pemiliknya. Tempat yang sangat mudah kumasuki tanpa meminta izin terlebih dahulu sangatlah terbatas. Banyak tempat di dunia ini yang pintunya dalam keadaan terkunci. Jauh lebih baik jika tertutup daripada terkunci. Jika tertutup masih bisa terbuka, tapi jika terkunci akan sulit menemukan kuncinya.

Pintu juga merupakan batasan yang dibuat manusia untuk menghalangi manusia lain masuk ke kehidupannya. Bagaimanapun bentuknya, jika kita masuk ke suatu tempat berarti ada pintu yang harus dilewati. Banyak yang tak terlihat, tetapi aku tetap memaknainya sebagai pintu. Hati pun memiliki pintu. Pintu hati tidak dapat terlihat, tetapi jauh lebih sulit untuk dimasuki.

Vidi, sejak menyadari perasaanku berubah padamu, aku mencoba masuk ke hatimu. Sejak itu aku selalu berdiri di depan pintu hatimu. Berkali-kali kuketuk, tetapi selalu usiran agar segera pergi yang kuterima. Aku mencoba mendobrak pintu hatimu, sayangnya, itu juga tak berhasil. Aku justru terpental dan terluka. Dari luar kau tampak terbuka, tapi memasuki hatimu yang terkunci itu aku tetap tidak bisa.

Vid...lagi ngapain?-Naya

Aku  memandangi pesanku minggu lalu yang belum juga dibalas olehmu. Hanya dibaca saja. Aku tidak tahu kapan kamu membaca pesan itu, saat aku membuka ruang obrolan kita sudah ada tanda baca pada pesanku. Tingkahmu ini yang terkadang membuatku ingin menyerah. Aku jadi bingung dengan diriku sendiri yang sudah tidak bisa mengerti dirimu. Dulu, kamu selalu peduli terhadap perasaanku dan sering sok tahu mengira aku masih menyukai Angga. Tapi, sekarang kamu menjadi raja paling tega.

***

Pintu terbuka, suaranya lebih dulu yang membuatku tersadar bahwa seseorang telah datang. Gesekan antara lantai dan pintu selalu terdengar mengganggu, tapi bagiku itu tanda satu orang yang kutunggu akan datang. Rufan.

Aku sudah menunggunya sejak tadi. Berkali-kali aku menoleh saat suara decitan itu terdengar. Sosok Emil muncul, tangannya masih menempel pada handle pintu stanless steel yang penuh gores. Dia tampak menyeramkan dengan bentuk wajah yang tegas tanpa ekspresi, badan yang gagah berdiri dengan tegap. Aku mengalihkan pandanganku dari Emil.

Rufan di belakangnya yang kulihat lebih lama. Badannya sama seperti Emil, tapi ekspresi wajahnya tidak datar. Dia tersenyum menyenangkan. Siapa pun yang melihatnya pasti akan ikut tersenyum. Debaran aneh itu kembali muncul setiap kali aku menatapnya, berdebar dan kadang sulit bernapas saking bahagianya.

Rufan hari ini mengenakan kemeja panjang berwarna biru dan celana jins hitam. Penampilan semiformal membuatnya terlihat tampan. Aku menatapnya begitu lama hingga mata kami akhirnya bertemu. Aku tidak bisa menghindar karena sudah tertangkap basah memerhatikannya. Dia tidak mengatakan apa pun, tapi matanya seolah-olah bertanya padaku.

“Bapaknya nggak masuk, tapi ada tugas,” kataku spontan menunjuk buku paket di mejaku.

Hari ini aku membawa buku Arab yang tebalnya hampir mengalahkan KBBI. Buku ini kupinjam dari salah satu teman Jurusan sastra Arab yang semester lalu sekelas denganku di kelas Rusia dasar. Entah aku harus merasa bersyukur atau malah sebaliknya karena saat aku membawanya Pak Adas malah tidak masuk.

Tugas yang diberikan Pak Adas adalah tugas kelompok. Rufan dan aku berada di kelompok yang sama. Setidaknya ada kesempatan agar kami bisa berbicara lebih banyak meski hanya seputar tugas.

Rufan tidak menjawabku dengan suara melainkan mengangguk sebagai balasan. Senyumnya diarahkan padaku dan semua cukup bagiku. Dia tidak perlu mengatakan apa pun karena aku mengerti makna semua itu.

Emil mengatakan sesuatu pada Rufan, sepertinya ini efek informasi yang kuberikan. Mereka membicarakan sesuatu. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan.

Retrouvailles (TAMAT)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ