Chapter 4 | Tree House

Mulai dari awal
                                    

“Apa kau yang membangun rumah ini?” tanyaku beberapa saat setelah duduk di atas rumah pohon. Luke beringsut duduk di dekatku sambil menyodorkan sekaleng minuman soda. Aku menatapnya sekilas, berterima kasih seraya menyunggingkan senyuman.

“Ya, begitulah. Aku suka tempat ini. Disinilah aku bisa merasa tenang.” Ia tersenyum padaku, lalu menyeruput minumannya.

“Aku setuju. Berada di tempat ini membuatku merasakan kedamaian.” Ujarku tanpa menatap ke arahnya. Ku pejamkan mata, merasakan hembusan angin yang menerpa wajahku. Sedetik kemudian kubuka mata dengan senyuman mengembang. Pemandangan yang memanjakan indera penglihatanku sungguh indah. Kota Fort Mill terlihat sangat jelas dari atas sini. Ya, pohon besar ini berdiri beberapa meter dari ujung tebing. Sangat mencengangkan mengetahui ada pohon sebesar ini di atas tebing. Jika kubawa Zach kemari, bisa dipastikan ia akan pingsan. Dia phobia ketinggian.

“Oh ya, mengapa kau membawaku kesini?”

“Aku hanya membutuhkan teman.” Ujarnya menundukkan kepala.

“Teman? Mengapa aku? Kurasa teman-temanmu banyak.”

“Ya, tapi mereka tidak akan mau ku bawa kemari. Menurut mereka tempat ini membosankan.”

“Menurutku tidak seperti itu.” Aku mengulas senyuman semanis madu. Sepertinya hari ini aku banyak tersenyum saat bersama Luke. Berbeda seperti hari-hari sebelumnya, dimana aku selalu bersikap ketus padanya. Ternyata Luke pria yang baik. Aku telah salah menilainya selama ini. Jauh dibalik topeng kepopulerannya ternyata ia hanya seorang pria tampan yang kesepian. Oh tunggu. Apa aku baru saja menyebutnya tampan? Sial.

Luke tersenyum, sorot matanya memancarkan kehangatan yang tidak pernah kulihat sebelumnya. “Apa kau keberatan jika sering-sering ku ajak kemari?”

“Tentu saja tidak.”

Aku berdiri seraya meregangkan otot-ototku. Luke menatapku lekat-lekat dengan lensa matanya yang berkilau diterpa sinar matahari sore. Astaga, ia memang tampan.

“Rasanya aku ingin berteriak.” Kataku terkesan asal.

“Kalau begitu, lakukan saja. Disini hanya ada kau dan aku.”

Aku terkekeh sebentar, sebelum menghela nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya dengan bentuk lain. Suara yang keras. Sangat keras.

“LUKE BENTLEY JELEK!”

“Hey, apa-apaan itu?” tukas Luke dengan tatapan tidak terima. Aku hanya menanggapinya dengan cengiran lebar.

“Perhatikan ini.” katanya seraya berdiri, lalu menghela nafas panjang.

“ZIA MCFOY PENDEK!”

Bukannya tertawa, aku malah menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Itu terdengar sangat menyakitkan. Sungguh. Tanpa diteriakkan secara lantang seperti itu pun, aku juga menyadari jika tubuhku lebih pendek dari orang-orang di sekitarku. Tidak perlu di perjelas lagi. Itu candaan yang sangat jahat. Candaan terjahat yang pernah ku dengar seumur hidupku.

“Zia—aku tidak bermaksud. Kau tahu—aku hanya bercanda.” Ucap Luke terbata, penuh penyesalan.

“Tidak apa-apa. Aku memang pendek, kan.” Kataku dengan senyuman yang dibuat-buat. Andai saja umurku enam tahun, pasti saat ini aku sudah menangis sejadi-jadinya. Mendengar orang memanggilku pendek, bagiku rasanya seperti mendengar seseorang memanggil nenek tua dengan kata-kata ‘hai nenek keriput!’ atau ‘hai bongkok!’ semacam itulah. Terdengar sangat keji bukan? Meskipun tidak ingin bereaksi berlebihan, aku tidak bisa menyembunyikan bahwa candaan semacan itu mampu melukai hatiku. Maksudku, semua orang tahu jika Luke memiliki wajah yang tampan. Berteriak sepertiku tadi tidak akan merubah fakta bahwa dirinya tampan. Lalu bagaimana dengan dirinya yang meneriakiku seperti tadi? Aku pendek? Lalu apa? Zia Kurcaci McFoy? Apa itu terdengar lucu? Tentu tidak. Sama sekali tidak. Apa dia tidak tahu bagaimana caranya bercanda? Ya ampun.

Perfect FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang