Chapter 14 | Be Mine?

231 12 2
                                    

“I fucking love him and I can’t help it.”

Tidak terasa satu bulan berlalu tanpa kehadiran Luke di dalam benakku. Ini adalah hal yang bagus, tentu saja. Setiap harinya kulalui dengan senyuman, canda dan tawa bersama the boys dan Rory. Namun saat kesendirian menghampiri, baru aku menyadari jika hatiku terasa kosong. Tidak ingin menjadi seorang munafik, aku mengakui jika jauh di dasar sana, di dalam hati kecilku, merindukan Luke. Merindukan humornya yang seringkali tidak lucu, sorot hangat dari mata hazelnya, tawanya, senyumnya, bahkan aku merindukan sikap canggungnya yang sesekali muncul. Ia tidak kemana pun, aku melihatnya sepanjang hari di sekolah. Tapi itu semua terasa berbeda. Saat ini aku merasa jauh darinya. Meski ia ada di hadapan mata sekalipun, tidak bisa menahan perasaan jika aku merindukannya. Meski membalas sapaan dan senyumnya, itu semua semata-mata hanya untuk menunjukkan jika aku tidak mengabaikannya seperti yang ia katakan saat itu, tapi kenyataannya sangatlah ironis. Aku memang mengabaikannya, terus menjauh darinya, walaupun sebenarnya tak ingin. Jika tidak seperti itu, lantas mau bagaimana lagi? Aku benar-benar ingin melupakannya dan terbebas dari perasaan memuakkan yang kurasakan selama ini.

Aku lelah, di saat perasaan seakan mengambil alih semua pikiran rasional yang ada dalam otak. Pikiranku selalu mengingatkan jika Luke bukanlah orang yang tepat, namun hatiku dengan sangat egois mengaguminya, merindukannya dan yang terburuk... mencintainya. Perasaan yang tidak pernah terduga kedatangannya ini semakin hari terus berkembang secara tidak terkendali. Tidak tahu apa alasannya, yang pasti aku merasakannya. Bukankah cinta itu memanglah demikian? Tidak alasan pasti dibaliknya. Dan begitulah cintaku kepada Luke. Terdengar puitis tetapi menjijikkan di saat yang bersamaan, aku tahu. Namun memang seperti itulah kenyataannya dan aku tidak bisa menampiknya. Aku tidak bisa menyangkal jika hatiku menginginkan Luke, sekalipun selalu teringat bahwa ia masih belum bisa melepaskan bayang-bayang kedua gadis itu dari hidupnya. Sadar atau tidak, peduli atau tidak, pada faktanya aku memang mencintai Luke.

“Kau harusnya lihat wajah Michie saat menonton film mengerikan itu! Lucu sekali, astaga!” Rory tertawa, membuyarkan lamunan tentang apa yang akan aku dan Luke lakukan di rumah pohonnya andai aku adalah pacarnya.

“Bisakah kau tidak membicarakan si kepala pirang yang satu itu untuk satu menit saja?” Aku memutar mata. Rory menyenggol lenganku dan menampakkan wajah cemberut.

“Bercanda.” Aku mencubit pipinya, tertawa tanpa dosa.

Seperti aku yang mencintai dalam diam, Rory juga hanya bisa melakukan hal yang sama. Kami berdua adalah pecundang, itu sangat jelas. Saat gadis-gadis lain sibuk mengejar-ngejar pria yang mereka incar, disinilah kami dengan sangat menyedihkan membicarakan pria-pria itu tanpa mengambil langkah apapun untuk mendekati mereka.

Anyway, kau seharusnya tidak pantas menertawakan Michie seperti itu di saat wajahmu bahkan lebih pucat darinya. Padahal kalian baru memandangi televisi selama kurang dari lima menit.” Kataku datar.

“Aku tahu, aku tahu! Tapi siapa yang tahan melihat manusia di potong menjadi dua dengan gergaji mesin seperti itu!” Rory bergidik sambil membelalakkan kedua bola matanya, merasa ngeri. “Kau membuatku teringat lagi! Astaga! Aku merasa ingin muntah sekarang.”

Aku menanggapinya dengan tawa. “Kau sangat berlebihan! Itu hanya film! Kau tahu, aku rasa usus yang jatuh dari perut wanita itu seharusnya lebih panjang, mengingat usus seorang manusia itu panjangnya sekitar—”

“Stop it! Stop it!” Rory menutup kedua telinga dengan telapak tangannya. Tawaku terdengar lebih keras dari sebelumnya. “Berhenti mengingatkanku dengan film sialan itu! Aku bahkan tidak nafsu makan setelah menontonnya.”

“Judulnya bukan ‘film sialan’, tapi Saw, part ke tujuh.” Kataku dengan polosnya seraya menyeringai lebar lalu kembali tertawa.

“Aku tidak peduli! Astaga! Bagaimana kau bisa suka film semacam itu? Aku curiga, jangan-jangan kau sendiri adalah psikopat.” Rory memicingkan mata secara dramatis.

Perfect FamilyWhere stories live. Discover now