Chapter 18 | Nightmare

180 9 2
                                    

“The scariest thing in this world is losing him.”

Aku berlarian di hamparan rumput yang luas bersama dengan dua orang pria yang paling kusayangi di seluruh penjuru dunia. Rambut cokelat pekatku yang sepanjang bahu dan berponi terkibas-kibas oleh angin. Tawaku terdengar nyaring, berbaur dengan tawa Dad dan Toby. Kakakku yang berumur tujuh tahun itu melemparkan bola karet merah kepada Dad, dan Dad bermaksud melemparnya kearahku, tapi dengan cepat Toby merebutnya lagi.

“Toby!” Jeritku tidak terima.

“Anak perempuan tidak bermain bola!” Ia menjulurkan lidahnya.

“Dad, Toby curang!" Rengekku, memajukan bibir. Dad tersenyum hingga menampakkan giginya dan membuat kerutan di sekitar matanya terlihat, lalu ia terkekeh seraya menggeleng-gelengkan kepala. Tangannya mengusap kepala Toby yang rambutnya terlihat seperti rumput di lapangan golf, baru tumbuh karena di cukur hingga botak satu bulan yang lalu.

“Jangan menggoda adikmu terus, lihat dia jadi cemberut begitu.” Dad seperti berusaha menahan senyum.

“Biarkan saja.” Toby sibuk melempar-lemparkan bola ke udara, bermain sendiri. “Anak perempuan harusnya main boneka.”

“Aku tidak suka boneka!” Sungutku. “Berikan bola itu padaku!” Kedua tanganku berada di pinggang.

“Toby.” Ujar Dad dengan nada bicara juga tatapan memperingatkan, membuat anak laki-laki sulungnya mendesah.

“Baiklah, tangkap!” Toby melempar bola itu ke udara. Meskipun melompat, tanganku tetap tidak sampai meraih bolanya. Toby melemparkannya terlalu tinggi, dan hasilnya, bola itu malah tercebur ke dalam kolam besar di belakangku.

“Toby!!!” Jeritku kesal seraya mengepalkan kedua tangan di samping tubuh, menjejak-jejakkan kaki ke tanah.

Dad membungkuk untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Toby yang tingginya hanya mencapai pinggulnya, “Toby, biar kuberi tahu sesuatu.” lengannya merangkul bahu Toby. “Sebagai kakak, kau harus menjaga adikmu dengan baik. Kau harus selalu menjadi orang pertama yang menghiburnya di saat ia kesal atau sedih. Bukan malah menjadi orang yang membuatnya merasa seperti itu.” Dad menepuk bahu Toby seraya berdiri tegak. “Sekarang kau ambil bola itu dan berikan padanya.”

Mendengar nasehat Dad, Toby mengangguk. Ia berjalan ke arah kolam untuk mengambil bolanya. Aku hanya memandangnya dengan mata memicing dan bibir yang dimajukan saat ia memberikannya padaku.

“Tidak mau. Bolanya basah dan kotor.” Aku melipat tangan di depan dada, memalingkan wajah dari Toby.

“Dad? Sekarang bagaimana?” Toby meminta bantuan.

Dad tertawa kecil seraya menghampiriku. Tak kusangka ia malah menggendongku di atas kedua pundaknya yang lebar. Tanganku tak sengaja meremas rambut pirang kecokelatan Dad ketika aku hampir terjungkal ke belakang. Dad berlari kecil, dan Toby mengejar di belakang kami. Aku tertawa lepas, rasanya seperti terbang bagaikan burung.

“Tangkap aku kalau bisa!” Aku menjulurkan lidah pada Toby, lalu tertawa.

“Tunggu aku!” Toby ikut tertawa.

Kami bertiga tertawa bersama, berlarian mengitari kolam besar yang memiliki air mancur di tengah-tengahnya. Ini sangat menyenangkan. Menghabiskan waktu sore bersama Dad dan Toby. Rasa bahagia yang hadir di setiap melewatkan waktu bersama mereka membuatku tidak menginginkan atau membutuhkan apapun lagi di dunia ini.

Ini sempurna.

Langkah Dad terhenti ketika terdengar suara deheman seseorang, menginterupsi kegembiraan kami. Saat aku menolehkan kepala, terlihat enam orang pria kulit hitam bertubuh kekar dan satu orang berkulit putih, bertubuh tinggi dan kurus ditengah-tengah mereka, sedang berjalan menghampiri kami.

Perfect FamilyUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum