Chapter 8 | Just Dreaming

265 13 2
                                    

“Because if he expects more, I can’t give him more. Never.”

Aku tidak bisa tidur malam ini. Entah apa yang sedang aku pikirkan. Aku mencorat-coret buku sketch yang sudah beratus halaman ku gambari dan membaca beberapa chapter dari novel yang belum selesai kubaca. Namun semua yang kulakukan percuma saja, tidak bisa membuatku lelah. Dan aku masih juga tidak mengantuk. Entah apa yang sedang menggangguku. Aku sendiri bingung. Tiba-tiba suara dering ponselku memecah kesunyian. Aku melihat layar sebesar empat inch tersebut, dan mataku langsung membulat. Luke?

From : Luke Jelek

Ternyata perasaanku benar. Kau belum tidur rupanya :)

To : Luke Jelek

Hey, darimana kau mengetahuinya?

Kau memata-mataiku, ya? :p

Tiga detik kemudian aku mendapat balasannya.

From : Luke Jelek

Uh, aku tidak sengaja mengetahuinya :P

Lampu kamarmu masih menyala ;)

Apa maksudnya ‘tidak sengaja’? Hell, bagaimana ia bisa tahu? Apa ia mengenal salah satu tetanggaku, lalu menyuruhnya untuk memata-mataiku? Atau ia sendiri yang sengaja berkeliaran di malam hari, hanya untuk mengetahui keadaanku? Baiklah, ini mulai membingungkan.

To : Luke Jelek

Apa? Serius, Minion.

Kau membuatku mulai ketakutan :|

Aku bangkit dari tempat tidurku, meninggalkan novel yang sedang kubaca, lalu berjalan mondar-mandir seperti setrika yang sedang melicinkan pakaian.

From : Luke Jelek

Kau benar-benar harus berhenti memanggilku seperti itu, aku juga serius -_-

Aku mendengus seraya menekan tombol yang mengaktifkan caps lock dalam keyboard di screen ponselku.

To : Luke Jelek

UGH, AKU TIDAK PEDULI!

PERMASALAHAN DISINI ADALAH BAGAIMANA KAU BISA TAHU JIKA LAMPU KAMARKU MASIH MENYALA?

DIMANA KAU SEKARANG, STALKER??

Aku menggigit tinjuku seraya menunggu balasan darinya.

From : Luke Jelek

Di depan rumahmu. Berani untuk menemuiku? ;)

Apa? Didepan rumahku? Aku melirik layar ponselku lagi. Jam dua belas malam lewat tiga menit. Dia pasti bercanda. Aku berlari kecil kedepan jendela, lalu menyibakkan gorden putih yang menutupinya. Disanalah Luke. Dengan jaket putih, jeans hitam dan Supra hitam kesayangannya. Berdiri dengan kedua tangan dimasukkan kedalam saku celana, menatapku dengan mata hazelnya bersinar. Senyumannya terlihat begitu memabukkan. Aku membalas senyumnya, seraya membuka jendela dan menyembulkan kepalaku keluar. Karena tidak ingin membangunkan Toby juga tetangga-tetanggaku yang lain, aku berkata tanpa suara, “What the hell are you doing out there?”

Ia juga berkata tanpa suara, namun aku masih bisa menangkap apa yang ia katakan dari gerakan bibirnya. “Aku datang untuk menemuimu. Maukah kau pergi?”

“Apa? Sekarang?” kataku terkejut, hampir mengeluarkan suara. Luke terkekeh lalu menganggukkan kepalanya. “Jadi, bagaimana? Aku janji kau sudah berada di kamarmu lagi sebelum Toby bangun.” Ia terlihat sangat berharap. Oh, apa ia takut aku akan menolak untuk pergi dengannya? Padahal, dengan tidak memasang wajah seperti itu pun, aku tidak akan berpikir dua kali untuk pergi bersamanya. Lagipula, hal buruk apa yang bisa terjadi? Aku pernah menolak ciumannya satu kali, dan berikutnya ia tidak pernah berusaha untuk melakukannya lagi. Jadi, apa yang perlu aku khawatirkan?

Perfect FamilyWhere stories live. Discover now