Chapter 4 | Tree House

406 15 1
  • Dedicated to Beliebers
                                    

(Backsongs of this chapter : Catching Feeling and Fall by Justin Bieber)

“Am I too crazy to think that I love him?”

Luke mengendarai Ducati putihnya dengan kecepatan tinggi. Adrenalinku bergerak naik dan turun di ayun-ayunkan angin yang menerpa wajahku dengan kencang. Aku memang terbiasa mengebut saat mengendarai Cody. Tapi berada dalam kecepatan tinggi saat duduk di jok belakang, rasanya cukup gila. Berkali-kali aku meremas tanganku sendiri saat Luke berbelok di tikungan. Aku takut terpental, mana tahu Luke tidak berhasil menyeimbangkan kembali posisi motornya yang sempat miring sekian derajat. Berkali-kali, dengan gerakan reflek, aku hampir saja melingkarkan tanganku pada tubuhnya, namun aku tidak melakukannya. Aku selalu menepis keinginan itu. Aku kan bukan pacarnya. Berteman saja tidak. Ah ya, maksudku kami bahkan belum berteman dekat. Pasti akan canggung sekali jika aku memeluknya.

“Jika kau takut, lingkarkan lenganmu padaku!”

“Apa?” kataku terkaget, dengan suara yang terdengar seperti berteriak. Hanya saja suaranya teredam oleh helm dan hembusan angin. Jadi kedengarannya tidak begitu nyaring.

“Lingkarkan lenganmu padaku! Aku takut kau terjatuh!” ujar Luke, kali ini lebih jelas.

Aku langsung melingkarkan lenganku dalam satu kali gerakan. Jantungku rasanya seperti tertinggal jauh di belakang sana, karena aku tidak merasakannya berdetak dengan normal lagi sekarang. Tanganku meremas jaket kulit abu-abu terang yang dipakai Luke. Berharap ia tidak menyadarinya.

“Apa perjalanannya masih jauh, Luke?”

“Lumayan!”

Aku mengeratkan pelukanku pada tubuh Luke, menyandarkan kepalaku pada punggungnya. Semoga ia tidak menganggapku sedang ketakutan. Ia akan menertawakanku nantinya. Aku hanya tidak ingin jatuh terpental dari jalanan yang semakin menanjak ini. Yang ada di kepalaku saat ini hanyalah doa-doa agar aku selamat sampai tujuan. Maksudku, kami. Semoga kami sampai tujuan dengan selamat. Amin.

***

Aku turun dari motor dengan lutut yang gemetar. Ah, sial. Luke pasti akan menertawakan aku. Dugaanku ternyata meleset. Luke terlihat cemas saat melihat wajahku yang pucat pasi, dengan keringat yang membanjiri kening. “Kau baik-baik saja?”

Aku mengangguk. “Ya. Hanya sedikit—gerah.”

Ia tersenyum. Senyuman yang selalu berhasil menghipnotisku. “Ayo. Akan kutunjukkan sesuatu.”

Luke menuntunku seperti seorang ayah yang menuntun anaknya. Entah kenapa, rasanya sangat nyaman. Tangannya yang besar itu hangat dan lembut. Ia sama sekali tidak terlihat canggung seperti biasanya. Sedangkan aku, jantungku berdetak lebih cepat saat ini. Ada perasaan aneh yang menggelitik saat kulit Luke bersentuhan dengan kulitku. Aku merasakan getaran berbeda. Getaran yang belum pernah aku rasakan pada pria-pria lain sebelumnya. Entah getaran itu apa namanya. Aku tidak mau mengambil kesimpulan terlalu cepat.

Mulutku sedikit terbuka, melihat keindahan alam yang terbentang luas di hadapanku. Hembusan angin sore yang menerpa tubuh membuatku merasa damai, seakan kedamaiannya menembus hingga ke dalam hatiku. Hangat dan damai. Cakrawala di penuhi burung-burung beterbangan yang kembali pulang ke sarangnya masing-masing. Lembayung mulai menyelimuti langit, menampakkan warna oranye yang indah. Rumput-rumput liar berpadu dengan ilalang berbunga putih menari-nari di tiup angin, seakan menyambut kedatangan kami. Bunga Dandelion menerbangkan kelopaknya tinggi-tinggi, menyatu bersama hembusan angin, seperti confetti dalam pesta.

Luke menuntunku ke suatu pohon besar yang memiliki rumah terbuat dari kayu berwarna cokelat pucat di atasnya. Rumah itu terlihat ringkih, namun memiliki keindahannya tersendiri. Di bawah rumah itu ada ayunan berbentuk oval yang terbuat dari anyaman rotan. Ukurannya besar, seperti telur raksasa, mungkin cukup untuk diduduki dua atau tiga orang.

Perfect FamilyWhere stories live. Discover now