Chapter 1 | Call Me Zia

2.3K 28 5
                                    

"They said I'm weird just because I'm being me."

Aku memasukkan beberapa buku yang sama sekali tak kusentuh saat pelajaran tadi kedalam loker, lalu menutupnya kasar. Melenggang santai seraya mengunyah permen karetku yang sudah mulai pahit. Tiba-tiba suara serak basah dan seksi milik seorang gadis yang sangat mengganggu memasuki gendang telingaku.

"Hai Zee, nanti malam ada pesta dirumah Austin. Kau ikut?" Gadis yang sangat cantik, feminin, berstelan dress hitam selutut yang casual kini berada dihadapanku—err, mungkin lebih tepatnya menghalangi jalanku. Make up naturalnya sangat ketara dari jarak sedekat ini. Rambut hitamnya yang panjang, bergelombang pada ujungnya, terurai rapi di punggungnya. Aku meliriknya lagi sekilas lalu mendengus, menampakkan wajah apatis.

"Aku sibuk, Jen. Sorry. Bye." Kembali ku langkahkan kaki tanpa mempedulikannya, membuat gadis centil itu mematung ditempatnya dengan mulut ternganga. Tak lama kemudian ku dengar hentakan kaki yang cukup keras, diiringi dengusan sebal. Saat ku tolehkan kepala, ia sudah tidak ada ditempatnya semula, melangkah gusar lalu menghilang di balik tembok. Aku tertawa konyol seraya menggelengkan kepala, menarik ranselku yang menggantung di bahu kanan.

Jennifer, gadis bermata cokelat terang itu akhirnya berhenti membuntutiku. Syukurlah. Meskipun satu kelas dengannya di beberapa mata pelajaran, aku tak pernah mau bergaul dengannya walaupun ia selalu mendekatiku. Entahlah, sepertinya ia menyukaiku.

Aku bergidik ngeri, bagaimanapun meski penampilanku selalu terlihat tomboy, aku normal. Aku seribu kali lebih menyukai pria kutu buku penghuni tetap kelas Matematika yang super culun, berambut merah keriting, berkacamata tebal, memiliki bintik-bintik di wajahnya dan memakai behel—yang bahkan aku tidak tahu dan tidak peduli siapa namanya—daripada gadis latin primadona sekolah seperti Jennifer. Memang banyak di sekolah ini gadis cantik yang lesbi dan bi. Menurutku mereka sangat menjijikkan. Perilaku mereka padaku sangat tidak wajar dan mengganggu. Dan cara mereka memandangku layaknya aku seorang superstar. Yang benar saja. Jika inginkan pasangan sejenis, kenapa tidak mencari yang lebih cantik?

Aku hanyalah gadis keturunan Amerika separuh Meksiko yang sama sekali jauh dari kata cantik. Mataku berwarna cokelat, warna yang menurutku, sangat membosankan. Saat melihat pantulan wajahku di cermin, terkadang aku sangat ingin memiliki iris mata berwarna hijau lumut atau biru muda. Tapi setelah kupikir lagi, hanya warna mata cokelatlah yang cocok dengan kulitku yang kecoklatan. Hidungku mancung dan besar, tidak mancung meruncing seperti kakakku—kakakku mewarisi hidung Mom sementara aku mewarisi hidung Dad—, bibirku kecil dan tipis, sudah berwarna merah jambu tanpa harus di poles lipstick atau lipbalm. Hanya bibirku lah satu-satunya anggota tubuhku yang kusukai. Rambutku yang semenjak masuk SMA ku warnai hitam—aku dan kakakku mewarisi warna rambut Mom yang berwarna cokelat pekat—tidak pernah kubiarkan panjang, selalu berpotongan pixie. Namun semester ini aku membiarkan rambutku memanjang hingga bahu lalu merapikannya dengan gaya shaggy. Ini adalah saran Toby saat aku bertanya padanya bagaimana caranya agar gadis-gadis itu tidak menggangguku lagi. Dan ternyata cara ini pun tidak berhasil. Tapi karena aku cukup menyukai tatanan rambut baruku ini, aku memutuskan untuk tidak memotongnya seperti potongan rambutku yang biasanya.

Selain tomboy, aku juga tidak pernah memperhatikan penampilan. Jika gadis-gadis disini sangat repot bersolek atau memadu-padankan pakaian mereka, aku tampil hanya dengan kaos butut, celana jeans selutut yang sudah belel, sepatu kets yang penuh corat-coret, terkadang jika sedang mood aku memakai hoodie yang sangat longgar atau jaket denim yang warnanya sudah memudar. Memangnya kenapa harus repot-repot memperhatikan penampilan? Apakah manusia seantero sekolah akan peduli? Blaaah, omong kosong. Aku sama sekali tidak peduli dengan apa yang orang lain pikirkan dengan penampilanku. Inilah apa adanya aku dan tak akan ada yang bisa mengubahnya.

Perfect FamilyWhere stories live. Discover now