Chapter 3 | The Boys

469 16 2
                                    

“Don’t judge too fast. Who knows if he really likes me?”

Suara ketukan pintu dari luar sana terdengar sangat berisik. Itu pasti Michie dan yang lain. Aku memutar mata jengah tanpa memedulikannya. Kembali asyik berkutat dengan joystick di tanganku.

“Zia! Bukakan pintunya atau terpaksa kami dobrak!” suara Michie yang cempreng dan sangat mengganggu pendengaran itu membuatku melangkahkan kaki dengan kesal. Bagaimana jika mereka benar-benar mendobrak pintunya? Walaupun Toby tidak akan marah, aku tidak akan membiarkan mereka melakukannya. Aku tidak mau pria-pria bodoh itu merusak properti rumah yang bukan milikku. Ya, ini rumah sewaan, yang sudah aku dan Toby tinggali sejak Dad meninggal.

“Oh ya kami juga membawa Pizza!” ujar Will terdengar riang. “Ya! Semuanya pepperoni and cheesse!” tambah Cory. Ya ampun, pria-pria itu sudah hafal betul caranya menyogokku.

“Tadaaa!” ujar mereka secara bersamaan sambil mengarahkan tangan mereka ke lima tumpukan kotak Pizza yang ada di tangan Michie, seperti pesulap yang sedang memamerkan kelinci yang muncul dari dalam topinya, saat aku membukakan pintu. Aku menatap ekspresi ceria mereka dengan wajah kesal. Melihat ekspresiku, wajah mereka berangsur datar.

Michie menenggak ludah. Menyadari jika kekesalanku adalah kesalahannya. “Maafkan aku, Zia. Aku tidak akan mendorong kepalamu kedalam ketiakku lagi.” Ujarnya dengan raut wajah seperti anak kecil yang baru saja di marahi ibunya.

Sial. Tawaku menyembur dengan sendirinya. “Baiklah. Kau ku maafkan.”

Michie tersenyum. Aku melangkah masuk, tanpa di komando lima pria itu mengekor di belakangku seperti anak bebek. “Lain kali jangan pernah ada yang melakukan itu lagi padaku. Atau aku akan menggencet barang kalian dengan daun pintu.” Omelku. Aku menoleh sebentar, sekedar ingin melihat ekspresi mereka saat mendengar ancamanku. Aku terkikik geli melihat wajah mereka yang seperti orang sedang meringis kesakitan. 

“Bercanda.” Kataku dengan senyuman tanpa dosa.

 ***

“Sial! Sekarang giliranku!” umpat Cory dengan nada bicaranya yang terdengar feminin. Ya, dia seorang gay. Aku sendiri tidak mengerti mengapa pria setampan Cory tidak menyukai gadis. Padahal menurutku, gadis manapun bisa tergila-gila padanya jika saja ia normal. Ya, gadis mana yang tidak tertarik dengan pria berambut cokelat terang bermodel spike, bermata cokelat bercampur abu-abu—bukankah itu warna mata yang sangat indah?—bertubuh jangkung, selalu berpakaian rapi dan bersikap sangat sopan? Sungguh gila. Aku sangat ingin tahu mengapa ia menyimpang. Tapi yang kudengar dari the boys, Cory tidak pernah bercerita kepada siapapun tentang penyebabnya. Para murid atau pun guru di sekolah juga tidak ada yang mengetahui perihal penyimpangan seksualnya. Ia selalu bersikap ramah kepada setiap gadis, membuatnya terlihat normal. Cory merasa lebih nyaman untuk menyembunyikan jati dirinya. Hanya orang-orang yang ia percaya saja yang mengetahuinya.

“Berikan itu padanya Maxie! Jangan curang!” kataku seraya memukul kepala Max dengan bantal.

“Hey! Jangan pukul kepala! Itu tidak sopan!” ujar Max dengan wajah marah yang terlihat sangat dibuat-buat. Aku yang sedang berbaring di sofa menatap Max yang sedang duduk di karpet dengan tatapan menantang.

“Kalau tidak sopan memangnya kenapa?”

“Kau harus di hukum.”

“Apa aku terlihat takut?” kataku seraya melipat tangan di depan dada lalu menjulurkan lidah padanya.

“Kau.” Ringisnya dengan wajah yang dibuat sangar. “Kau harus di hukum gadis kecil.”

Aku tertawa-tawa sambil berlarian di dalam rumah. Max mencoba menangkapku namun sejauh ini tidak berhasil. Cory dan Michie yang sedang bermain playstation sempat menatap kami berdua, seraya menggeleng-gelengkan kepala. Will dan Zach yang tadinya duduk di karpet bersama Cory dan Michie beringsut menempati sofa panjangku.

Perfect FamilyΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα