Chapter 9 | Meet Cece

277 13 2
                                    

“It’s a damn lie if I don’t want him to be mine.”

Senin.

Hari yang indah untuk mengawali minggu ini. Senang bisa kembali menjadi diriku. Aku tidak tahu derajat kepercayaan diriku naik berapa persen setelah memotong rambut dengan gaya pixie lagi. Sabtu lalu, setelah bermain musik bersama the boys di studio di rumah Michie, kuputuskan untuk pergi ke salon. Toby menepati janjinya untuk memberiku uang lebih, tapi di salon aku hanya memotong rambut dan creambath. Sisanya kubelikan makanan dan aksesoris untuk Flo, sebuah kalung kucing yang lucu. Oh dia semakin imut memakai kalung hitam, berbandul perak yang bentuknya oval. Disana terukir nama “Flo” pada bagian depan dan nomor ponselku di baliknya agar orang bisa tahu kemana mengembalikannya jika ia tersesat.

Aku mencium Flo, dan memakai sepatu boots ku sebelum keluar dari kamar. Hari ini aku ingin tampil simpel dengan boots putih, celana jeans selutut berwarna hitam, t-shirt putih juga jaket denim biru donker. Flo mengikutiku menuruni tangga dan ia berhenti di ambang pintu. Menatapku seakan aku tidak boleh pergi. “Sampai nanti Flo. Jangan nakal ya?” Aku mengelus kepala Flo sebelum menutup dan mengunci pintu rumah.

***

“Hai, Zee.” Sapa Luke dengan senyuman hangat saat aku berjalan ke tempatku di pojok kelas.

“Hey, Bentley.” Balasku seperti biasanya. Tiba-tiba memori tentang mimpiku bersama Luke berciuman di rumah pohon muncul di otakku, membuat senyumku mengembang lebih lebar dari yang aku rencanakan. Tanpa sadar mataku tertuju pada bibir Luke yang berwarna merah muda.

“Kau terlihat ceria hari ini.” ia menyeringai, dan aku terhenyak. Sial, Zia. Fokus, Zia. Fokus. Ini masih pagi.

“Mungkin karena rambutku.” Jawabku santai seraya mengangkat bahu. Bagus, Zee. Stay cool.

“Ya, kau terlihat keren. Meski aku suka kau dengan hair bun, tapi kau lebih cocok seperti ini.” Ia memamerkan deretan giginya yang putih. Hair bun? Aku jarang mengikat rambutku saat di sekolah. Mungkin hanya sesekali, tidak terlalu sering. Baiklah, jadi... selama ini dia sering memperhatikanku?

“Thanks.” Jawabku, tersenyum dan Luke membalasnya. “No problem.”

Tak lama kemudian Mr. Stevenson memasuki kelas, membuat Luke harus memutar tubuhnya ke depan. Mataku masih tidak mau lepas dari pria berambut cokelat keemasan itu. Pikiranku berspekulasi tentang bagaimana perasaan Luke padaku dan bagaimana perasaanku yang sebenarnya padanya. Sepertinya aku memang jatuh cinta kepadanya, tapi ini terlalu cepat. Aku harus kembali memikirkan apakah ini benar cinta atau hanya sekedar rasa suka dan kagum. Bersama dengan pikiran itu, aku berusaha fokus kepada Mr. Stevenson. Meski sesekali pandanganku melenceng dari papan tulis kepada si pria mata hazel. Damn.

***

Saat menaruh buku-buku di loker, aku melihat dari sudut mataku jika Cory melintas. Saat kukira akan pergi begitu saja, ia berjalan mundur. “Hey, Zia!” Ia terdengar ceria. “Kau kembali!” Ia merentangkan tangannya untuk memelukku, tapi aku mengambil satu langkah ke belakang dan memukul dadanya seraya tertawa, membuat ia mengurungkan niatnya.

“What the fuck, dude?” kataku mengernyitkan kening, masih setengah tertawa.

Cory tersenyum lebar. “Rambutmu.” Ia menaik-turunkan alisnya lalu, menyisir rambutnya ke belakang dengan jari-jarinya, bermaksud menyindir rambut pixieku.

“Oh, haha. Senang bisa kembali.” Aku menutup dan mengunci pintu lokerku.

Sepanjang langkah kami menyusuri koridor aku menceritakan mimpiku tentang Luke pada Cory. (Memotong bagian pelukan dan ciumannya.) Aku tidak bisa menahan diri untuk bercerita, meskipun aku tahu Cory tidak akan menikmati setiap kata yang ia dengar. Lagipula Cory akan terus mengutarakan setiap keburukan Luke yang ia ketahui, jika aku tidak memberitahunya bahwa aku mulai menyukai pria yang tidak ia sukai itu.

Perfect FamilyWhere stories live. Discover now