Chapter 20 | Apologizes

140 5 2
                                    

“Just cut out this bullshit! I’ve already tired to face it!”

 

Senin pagi. Matahari bersinar cerah, seperti menggambarkan suasana hatiku saat ini. Meskipun pertengkaran dengan Max di rumahku kemarin terus membayangi pikiran, aku mendorongnya masuk sebelum ia sempat merusak suasana hati yang sudah kujaga dengan susah payah sejak mata ini terbuka. Masalah yang satu itu bisa menunggu. Lebih baik fokuskan saja pikiran pada satu hal yang lebih baik, seperti kimia misalnya, atau Luke.

Luke.

Bibirku tersenyum seperti orang idiot karena tiba-tiba saja teringat suara Luke saat menyanyi tadi malam. Suara merdunya masih menggema di dalam kepala dan aku tidak bisa mengendalikannya.

“Morning, honey.” Seperti semesta alam bermain-main denganku, Luke membisikkan sapaan khasnya di telingaku tepat di saat aku sedang memikirkannya.

Morning, Luke.” Masih dengan bibir yang tersenyum, aku  memutarkan kepala. Sepertinya aku sudah mulai terbiasa dengan perilaku Luke yang agak norak itu. Karena berkebalikan dengan keinginanku menampar lengannya, aku malah menjawab sapaannya.

“Luke?” Mata hazelnya melebar, ia memegang dada, berpura-pura seolah aku baru saja menyakiti hatinya.

“Kau memanggilku babe di sms.” Protesnya. Ia memajukan bibirnya dengan cara yang paling imut.

Aku mengambil buku catatan kimia dan memasukannya ke dalam ransel, membenarkan posisinya di bahu kananku, berputar menghadap Luke sambil menutup pintu loker dan menguncinya dalam prosesnya.

Well, kita sedang tidak sms-an, kan?” Mataku memberikannya tatapan tidak peduli, tapi ia pasti tahu aku hanya bercanda karena ia merespon dengan kekehan pelan sambil mengacak-acak rambutku.

“Terserah kau saja.”

Aku menepis tangannya. Dasar sialan. Koridor sedang ramai-ramainya! “Hell, harus berapa kali kuingatkan—”

“Jangan melakukan hal semacam itu di depan umum?” potongnya, tertawa. “Memangnya kenapa?”

Melihat responku yang diam tak bersuara seraya menautkan kedua alis, sebal, Luke melanjutkan, “Tidak suka jadi pusat perhatian? Memangnya sejak kapan kau peduli dengan mereka?” Ia menyeringai.

Bukannya aku peduli. Aku sudah biasa di tatap dengan tatapan seolah aku baru saja membunuh kepala sekolah Henry Duff atau dibicarakan di belakang punggungku tentang cara berpakaian atau apalah. Tapi jika mereka melihat Luke menyentuhku, bercanda di depan koridor seperti sekarang misalnya, lalu mulai bergosip, itu perkara lain. Fuck jika mereka mencampuri urusanku. Satu Max saja sudah membuatku muak, apalagi satu sekolah? Aku harus sedikit menjaga jarak dan terus mengingatkan agar Luke bisa mengerti, tapi tetap saja. Ia begitu keras kepala dan menganggap jika hal semacam itu sudah menjadi hal yang biasa.

“Satu, aku tidak peduli jika aku menjadi pusat perhatian atau tidak. Dua, aku juga tidak peduli dengan opini mereka. Hanya saja, aku tidak suka jika perbuatanmu itu membuat seantero sekolah mulai bergosip tentang kita.”

Aku berjalan sembari menunduk dan mengacak-acak rambut di bagian atas dan belakang kepala—gaya rambutku akan kelihatan lebih bagus saat rambutku terlihat megar—dengan memasang wajah apatis seperti biasanya. Merasakan ditatap orang lain, tanpa di perintah mataku sudah melayangkan tatapan dingin ke setiap orang yang melirik aku dan Luke secara bergantian. Luke yang hanya berjarak satu jengkal kaki dariku terlihat sedang bersiul santai, tatapan matanya lurus ke depan dengan kedua tangan di balik saku celana jeans donkernya. Ia tidak menggubris ucapanku.

Perfect FamilyWhere stories live. Discover now