Chapter 15 | Under The Moonlight

170 11 2
                                    

“Damn, I'm new to this dating shit.”

 

Aku melenggang santai dengan seringai tipis yang menghiasi bibir. Kotak bekal berisi kue cokelat bergoyang-goyang di dalam ransel, menimbulkan bunyi saat aku melangkah. Suasana pagi ini hatiku cerah ceria. Tentu saja karena sepulang sekolah nanti akan pergi ke rumah pohon bersama Luke, apalagi yang bisa membuatku lebih ceria?

Setelah Luke menyatakan cintanya, semua kecemburuanku terhadap duo pirang menghilang begitu saja. Untuk apa memikirkan mereka di saat Luke kini sepenuhnya milikku? Haha ya, terdengar seperti aku mengklaim Luke, tapi siapa peduli? He's all mine now, no one can' t deny it and I make sure no one can't talk shit about that. Including my best friends.

“Damn.” Gumamku, tanpa sadar membanting pintu loker. Bagaimana cara untuk menjelaskan pada the boys? Mereka pasti akan sangat membenci ini. Mereka membenci Luke, itu sangat jelas. Bagaimana jika mereka akan meninggalkanku setelah tahu aku berpacaran dengannya? Shit. Aku harap mereka semua akan mengerti. Aku tidak berharap Luke bisa berbaur dengan mereka—seperti Rory—itu terdengar sangat mustahil. Yang kuharapkan, setidaknya mereka menerima Luke sebagai kekasihku dan tidak mengatakan sesuatu yang bisa menyakiti perasaanku. Itu saja.

“Morning, honey.” Bisikan suara berat seseorang tepat di telinga membuatku terperanjat. Deru nafasnya yang hangat menggelitik kulitku sehingga membuat bulu kuduk berdiri.

“The fuck?” Desisku sambil membalikkan badan. Terlihat Luke yang tersenyum lebar di hadapanku. Gosh, ternyata dia. Karena masih pagi, otakku belum terlalu aktif bekerja untuk mengenali suara seseorang yang berbisik di telingaku dari arah belakang, sekalipun itu suara kekasihku sendiri. Dasar.

“Oh—kau. Hey.” Ralatku, dengan sedikit tergagap.

“Whoa, terlalu sering mengumpat itu tidak baik.” Ujarnya sambil menyeringai.

“Bagaimana lagi, kau mengagetkanku.” Jawabku beralibi, sambil menampar lengannya. Kaget atau tidak, aku memang banyak mengumpat. Terutama saat terkena Pra-Menstruasi Syndrome.

“Aku hanya mengumpat di saat ibu jari kakiku terantuk meja atau pintu.” Luke berkata sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya.

“Kalau aku sepertinya memang tidak bisa berbicara tanpa mengumpat.” Ujarku sambil mengangkat bahu. Luke tertawa kecil. Kamipun mulai berjalan beriringan, sesekali saling melempar candaan kemudian tertawa bersama. Ia sangat tampan hari ini dengan kaos merah polos, jaket denim dan celana jeans hitam. Tumben sekali ia memakai Macbeth, bukan Supra hitam kesayangannya yang sudah lusuh itu. Damn, mengapa aku begitu suka memperhatikan pakaian orang lain. Ah, ralat. Luke bukan orang lain tetapi kekasihku. Dan aku memang sudah sering memperhatikan dirinya sejak lama.

“Jangan lupa sepulang sekolah.” Luke mengacak-acak rambutku didepan kelasnya. Aku menepisnya kasar. Tidak di depan teman-temanmu juga, bodoh. Batinku merutuk.

“Iya, iya.” Jawabku cepat.

“Jangan cemberut.” Ia mencubit pipiku gemas, hingga membuatku meringis, “See ya later, honey.” Mengedipkan sebelah mata sebelum masuk kelas. Semua orang didalam kelas itu membulatkan mata dan menjatuhkan rahang mereka ke lantai—terutama para gadis. Kenapa harus mengucapkannya sekeras itu Bentley sialan!

Aku segera mengambil langkah seribu, menyembunyikan wajahku yang merahnya sudah seperti kepiting rebus. Damn, I'm new to this dating shit. Apa menunjukkannya didepan orang-orang seperti tadi adalah hal yang biasa? Sepertinya aku tidak sanggup berurusan dengan hal semacam ini setiap hari. Tapi entahlah. Tadi itu sedikit manis juga. Tapi yang benar saja. Oh aku benar-benar bingung harus bersikap bagaimana. God damn it.

Perfect FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang