Chapter 7 | UFO Freak

351 15 2
                                    

"Fuck if I can't melt down. I just keep looking cool."

Mulutku terbuka lebar saat kami memasuki kawasan perumahan elit. Rumah-rumah bergaya mediteranian berjejer rapi, dengan pagar-pagar menjulang tinggi. Pepohonan besar nan rimbun yang menghiasi bahu jalan, membuat udara sejuk dan sinar matahari yang terik tidak terekspos saat kami melintas dibawahnya.

"Luke, kita mau kemana?" Aku sedikit memajukan kepala, membuat daguku menyentuh bahu Luke.

"Studio. Bandku latihan hari ini." Luke sedikit menolehkan kepalanya ke sisi.

"Aku kira kita akan pergi ke-" Ucapanku terpotong dengan tawa kecil Luke.

"Ya, nanti kita kesana setelah aku selesai latihan, ya?" Aku tersenyum, tidak bisa menyembunyikan rasa senang. "Baiklah."

Luke memarkirkan motor putihnya di pekarangan yang cukup luas. Rumah bergaya minimalis, bercat putih, berdiri megah dihadapan mataku. Ini bukanlah rumah terbagus disini, tapi bagiku cukup mewah dan elegan. Simpel dan tidak berlebihan.

"Ini rumahku." Ujar Luke setelah membuka helmnya. Aku tidak begitu memperhatikan Luke yang sedang menata rambutnya dengan jari-jarinya, langsung beranjak dari motor dan berdiri mengamati sekeliling. Pepohonan rimbun dan asri, bunga-bunga petunia berbagai warna-juga bunga-bunga kecil lainnya yang tidak kuketahui namanya-tertata rapi, terawat dengan sangat baik.

"Kuharap kau tidak keberatan menontonku latihan. Sudah kukatakan pada mereka untuk memindahkan harinya, tapi mereka bersikeras. Karena minggu ini kami belum latihan sama sekali jadi-"

"Tidak apa-apa." Kataku menginterupsi. "Tentu saja aku tidak keberatan." Aku tersenyum, Luke membalas senyumku.

"Baiklah, ayo masuk." Luke berjalan di depanku, aku mengekor di belakangnya. Tidak bisa mengalihkan pandanganku dari punggungnya yang lebar, membayangkan bagaimana rasanya jika kupeluk dia dari belakang. Zia, jangan mulai.

"Lagipula aku belum sempat mengenalkanmu pada teman-temanku, bukan?" Ia menolehkan kepalanya sekilas dan aku mengangguk.

"Sepi sekali? Kemana orang tuamu?" tanyaku seraya mengamati lukisan bunga yang ada di ruang tamu. "Ayahku bekerja. Ibuku sepertinya sedang berbelanja." Ia berdiri tidak jauh dariku, memasukkan kedua tangannya ke saku celana seraya ikut mengamati lukisan. Tak lama kemudian ia melangkah. "Ayo, Zee."

Aku masih tidak mau beranjak, mataku kini beralih ke sisi lain dinding yang bercat abu-abu terang, yang mendominasi ruang tamu ini. Mengamati foto keluarga berbingkai kayu yang ukurannya sedikit lebih besar dari lukisan. Dua orang dewasa yang kuyakini sebagai orang tua Luke, berdiri di tengah dengan dua orang anak laki-laki berumur sekitar dua dan tiga belasan tahun disamping kanan dan kiri mereka. Ayah Luke memiliki mata hazel dan rambut pirang emas, memakai tuxedo dan dasi hitam. Ibu Luke terlihat begitu cantik, dengan rambut panjang berwarna cokelat pekat dan iris mata biru, ia terlihat menawan dengan memakai dress satin panjang, berwarna putih tulang. Disamping kanan wanita yang masih terlihat muda itu berdiri Luke yang sedang tersenyum lebar, memakai tuxedo hitam dan dasi biru tua. Ia terlihat lucu dengan poni yang menutupi hampir seluruh dahinya. Namun mau bagaimanapun gaya rambutnya, Luke selalu terlihat sama, tetap tampan. Anak laki-laki yang berdiri disamping kiri ayah Luke memiliki rambut juga iris mata cokelat terang, memakai tuxedo hitam dan dasi merah. Tunggu, ia terlihat begitu familiar. Rasanya aku pernah melihatnya sebelumnya.

"Zia." Panggilan Luke membuyarkan lamunanku, arah mataku sontak tertuju padanya. "Sudah cukup melihat-lihat?" Ia menaikkan alisnya seraya menyeringai. "Ayo."

Aku mengangguk, mengikuti Luke lagi. "Studionya di belakang." Ia memberi tahu.

"Rumahmu sangat nyaman." Kataku tidak menyadari ucapan yang keluar begitu saja, hell Zia.

Perfect FamilyWhere stories live. Discover now