Chapter 22 | Confirmations

157 7 3
                                    

“Stop talking nonsense. You are fucking beautiful, bitch.”

Selasa. Hari ini suasana hatiku cukup baik, meskipun sedari pagi perasaanku tidak enak. Aku mengabaikan perasaan itu dan menganggap jika aku hanya menjadi paranoid saja. Semalam aku sulit tidur karena bertanya-tanya siapakah adiknya David, sahabat Luke yang sudah meninggal itu. Apakah dia seorang perempuan atau laki-laki? Apakah ia sekolah disini atau tidak? Apakah aku pernah bertemu dengannya atau belum? Apakah ia salah satu diantara sahabat dekat Luke; Ashton, Calvin, Cece atau Stacy? Gosh, aku berharap ia bukan Stacy atau Cece. Namun melihat kedekatan kedua gadis itu dengan Luke rasanya masuk akal saja jika salah satu dari mereka adalah saudari David. Mungkin Stacy, atau malah Cece. Aku hanya berharap bukan Cece. Ia gadis yang sangat menyebalkan. Aku tidak suka gadis centil yang satu itu terlalu dekat dengan Luke dan aku tidak bisa mencegahnya.

“Hey, sepertinya aku tidak pernah melihatmu memakai gelang yang satu itu sebelumnya.” Rory membuyarkan lamunanku.

“Yang ini?” Aku mengangkat pergelangan tangan kiri.

“M-hm.”

“Ini pemberian Luke.” Seraya tersenyum aku menjawab singkat tanpa menguraikan detailnya. Bagiku itu adalah rahasia Luke. Walaupun Luke tidak memperingatkanku untuk tidak menceritakannya kepada siapapun, aku merasa perlu untuk menjaga privasinya. Aku bukan tipe gadis penggosip yang suka menyebarkan urusan orang lain pada publik.

“Aww. Dia ternyata manis juga.” Goda Rory.

“Back off, he’s mine.” Candaku. Rory menyenggol bahuku, tertawa kecil seraya menggeleng-gelengkan kepala pelan.

“Siapa juga yang bilang aku suka padanya.” Ujar Rory dengan ekspresi wajah seakan berkata, ‘jangan konyol’.

Aku melipat kedua lengan didepan dada. “Memuji pacar orang lain itu bukanlah tindakan yang sehat untuk dilakukan, Rory.”

“Baiklah, baiklah, aku mengerti. Ia sepenuhnya milikmu, Nyonya Bentley.” Rory mulai terlihat sebal. Aku tertawa melihat ekspresinya yang bagiku terlihat lucu. Tidak heran jika aku menjadi hobi menggodanya. Ini menyenangkan.

“Ngomong-ngomong, apakah rencanaku berhasil?” Aku berencana untuk membuat Rory dan Michie mengakrabkan diri. Agar Michie tidak curiga, aku sengaja menyebar nomor Rory didepan the boys sehingga bukan hanya si pirang tapi keempat pria lainnya juga menyimpan nomor Rory. Aku jenius, aku tahu.

“Rencana? Oh ya, semalam mereka beramai-ramai mengirimkan sms.” Rory tidak bisa menyembunyikan senyumnya.

“Kau berhutang padaku karena sekarang kau sudah mulai sms-an dengan Michie.” Kataku dengan seringai jahil. Sekarang ia terlihat agak tersipu.

“Ya. Dia sangat lucu astaga! Cory juga, ia sangat konyol. Aku tidak bisa berhenti tertawa saat membalas sms mereka! Mereka berdua sangat kocak.” Ujar Rory sembari tertawa kecil. Aku tahu alasan ia membawa nama Cory adalah untuk mengalihkan pembicaraan dari Michie, agar aku berhenti menggodanya. Gadis pintar. Pasti ia sudah lelah menghadapi candaanku dari tadi. Tapi sayangnya aku masih ingin bermain-main dengannya.

“Ah yang benar?” Aku tersenyum menggoda seraya menyenggol bahu Rory.

“Hey, apa-apaan itu?” Protes Rory.

“Cory atau Michie?” Godaku sambil menaik-turunkan alis.

“Aku bilang dua-duanya, Zia.” Rory memutar matanya. “Mereka berdua sama-sama lucu.”

“Ah yang benar? Pasti di antara mereka berdua ada yang lebih lucu bukan?”

Ia menyipitkan matanya. “Ada apa denganmu? Kau ini aneh.”

Perfect FamilyWhere stories live. Discover now