Lanjutan bagian enam belas

Mulai dari awal
                                    

"Eee ...," Irma bingung mengatakannya, tapi mau bagaimana lagi, ia sedang sangat terdesak. Melihat Arfan yang tengah sakit memang bukan waktu yang tepat untuk bicara, tetapi apa salahnya mencoba, pikirnya. Mengesampingkan rasa segannya pada Arfan, Irma mulai berbicara. "Kamu tau 'kan, selama di sini aku jadi enggak kerja."

Arfan menajamkan matanya sedikit.

"Aku belum bayar kost satu tahun, terus belum bayar tagihan kartu kredit, arisan-arisan, tagihan air, listrik, majalah ...."

"Berapa?"

Mulut Irma yang belum beres berbicara terbuka karena Arfan menyelanya. Takut telinganya salah mendengar, ia kembali bertanya. "Ya?"

"Berapa?" Ulang Arfan. Mata Irma bergerak lincah ketika pemuda itu memandang tepat kemanik mata coklat tuanya.

Bingung, gadis berkulit putih itu segera menghitung berapa kiranya besar nominal yang harus ia sebut, supaya Arfan tidak curiga padanya, "du-dua puluh lima juta."

Hening, Arfan belum bereaksi. Wajahnya datar membuat Irma gemetar takut.

"Ambil," tangan Arfan menunjuk lemari pakaiannya.

Tidak percaya, gadis berkulit putih itu menatap Arfan. Wajah pemuda itu tampak serius. Enggan tapi butuh, Irma bangkit mendekati lemari jati tiga pintu yang ada di sebelah kiri Arfan. Dengan tangan masih gemetar Irma membuka pintu lemari pakaian yang tidak terkunci itu. Menatap deretan jas, kemeja dan jaket yang tergantung rapi.

"Di belakang gantungan baju, ambil yang kamu perlu," setelah mengatakan itu Arfan berbaring lalu memejamkan matanya tidak peduli.

Irma ternganga melihat tumpukan uang seratus ribuan yang berjajar rapi di sudut lemari. Begitu mudahnya pemuda ini memberikan apa yang diinginkannya. Tidak takutkah Arfan bila dirinya menguras habis uang ini. Irma melirik Arfan dengan perasaan yang bercampur aduk. Hati gadis itu ragu sekarang. Masihkah rasa tega yang berkuasa?

***

"Pinjem dulu Nadine-nya, Tante."

Tante Ana tersenyum, "hati-hati, pulangnya jangan terlalu malam."

Ilham mengangguk senang. Siapa sangka, Tantenya Nadine ternyata ramah. Padahal ia baru sekali ini berkunjung ke rumah Nadine. "Assalaamu alaikum," katanya setelah gadis yang dijemputnya masuk ke dalam mobil.

Tante Ana menjawab salam sambil melambaikan tangannya.

"Nad, Tante kamu baik, yah?" pemuda itu membuka pembicaraan. "Om-nya lagi kemana?"

"Tugas kantor keluar kota."

"Oh ...," Ilham diam-diam melirik Nadine. Malam ini ia merasa gadis yang duduk di sampingnya sepuluh kali lebih cantik dari hari biasanya. Mungkin pengaruh make up tipis dan gaun sifon merah hati yang gadis itu pakai. Kebetulan, warnanya serasi dengan kemeja batik yang dipakainya. Cantik sekali, tidak bosan Ilham memandangnya.

"Awas, Dok!"

Pemuda berkacamata itu segera fokus ke jalan raya. Hampir saja mobil yang dikemudikannya menyerempet sepeda motor.

"Hati-hati," Nadine memegang dadanya yang berdebar karena kaget. "Dokter enggak ngantuk 'kan?"

"Enggak-enggak, maaf Nad," sesal Ilham. "Agak kurang fokus tadi. Kamu enggak apa-apa?"

Gadis berhidung mancung itu menggeleng. Ia kembali terlihat duduk dengan tenang.

Ilham menghembuskan napas dari mulutnya. Hawa canggung mulai menyiksa. Nadine bagai sebuah gong yang harus dipukul dahulu baru menimbulkan bunyi. Gadis cantik itu hanya bersuara bila ditanya. Maka dari itu Ilham berusaha terus bertanya padanya, untuk menghilangkan rasa canggung. "Emm, Nad?"

Nadine menoleh.

"Bisa minta tolong?" walau tidak mendengar jawaban, Ilham melihat dari sudut matanya Nadine tengah menanti kata lanjutan dari mulutnya, "panggil aku Ilham." Takut gadis itu menolak, ia segera menambahkan, " Selama di acara nanti, tolong jangan panggil aku dokter."

"Kenapa?"

Kenapa? Pemuda tampan itu binggung menjawab sekarang. Kenapa? Kenapa? Ulang hatinya. "Emm, kita enggak lagi di rumah sakit 'kan?" tanyanya gugup,"Ilham atau Mas , biar enak aja kedengarannya, Nad." Uh, jawaban apa itu? Hati Ilham kebat-kebit memaki jawaban bodoh yang keluar dari mulutnya.

Kening Nadine sedikit berkerut.

"Tapi kalau kamu keberatan ...."

"Enggak."

"Apa?" tanya pemuda berkacamata itu tidak mengerti.

"Aku enggak keberatan," jawab Nadine cepat. "Mas," katanya pelan namun jelas. Gadis itu memilih memanggil Ilham begitu karena usia mereka terpaut cukup jauh.

Bagai melayang, pemuda tampan berkacamata yang duduk mengemudi tersenyum senang. Mau berterimakasih tapi ia takut Nadine menganggapnya berlebihan. Ia jadi bertambah grogi sekarang. Sesekali matanya melirik Nadine yang tengah memerhatikan jalan. Ngobrol apalagi, pikirnya. Kenapa ia jadi bingung begini. Senyum geli tidak dapat ditahannya. Beruntung mata gadis itu tengah melihat ke luar jendela samping. Ilham bisa disangka gila kalau saja Nadine melihatnya senyum-senyum sendiri. "Eee ..., Nad? Mas stel radionya boleh?"

"Boleh," jawab Nadine singkat tanpa melepas pandangannya dari jalan raya. Seandainya Ilham tahu, gadis itu tengah memikirkan Bagas sekarang.

***

"Bagaimana Arfan?"

"Sewaktu saya mau pulang, demamnya sudah mendingan, Den."

"Inah mengurusnya baik-baik?"

"Tentu, Den. Saya sudah sampaikan pesan dari Aden."

Haji Bachtiar merasa lega mendengarnya. "Jang, kalau ada lagi kabar, segera beritahu."

"Baik," Mang Ujang menjawab penuh hormat.

Sebuah jempol diam-diam diacungkan oleh Bagas. Sesuai permintaannya, Mang Ujang tidak menyinggung adanya wanita di rumah Arfan.

"saya pamit istirahat, Den Haji."

Haji Bachtiar mempersilakan dengan anggukan. Hampir tengah malam begini, Mang Ujang baru pulang dari Tanggerang. Setelah Arfan diusir, beliau meminta pada Mang Ujang untuk membuntuti Arfan dan memastikan putra pertamanya itu tidak terlunta-lunta di jalan.

"Ummi perlu dikasih tahu, Yah?"

"Enggak usah."

"Tapi Ummi marah terus sama Ayah."

"Biar, Ummi urusan Ayah. Kamu fokus sama wisuda saja" Haji Bachtiar meminum kopinya, "fokus sama masa depanmu."

Pemuda berkulit manis itu membatin, disaat keluarga ada masalah seperti ini, ayah malah menyuruhnya egois. Mana bisa? "Lalu masalah Arfan? Agas pengen bantu."

"Kamu sudah banyak membantu. Dengan menggantikannya tempo hari di pelaminan sudah cukup." Haji Bachtiar menatap putra keduanya, "Membawa Sarah ke rumah sakit, menjaganya, mengantarnya, itu sudah cukup. Semua ini harus kakakmu yang bertanggung jawab. Ia yang salah. Ia laki-laki. Ingat yang Ayah ajarkan tentang laki-laki."

Bertanggungjawab, mandiri, pantang ingkar janji. Tiga hal yang selalu Bagas camkan dalam hati. Tapi apa Arfan mengingatnya juga? Bagas mengetik sesuatu di ponselnya, secepatnya ia harus bertemu dengan kakaknya.

Jodoh PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang