10. Sisi Lain Dirinya

2.2K 196 14
                                    

"Aku harap Tuhan akan menyampaikan pelukan yang kutitipkan pada-Nya untuk mengurangi lukamu"
~Sendu Merindu~

"Gara-gara kamu aku jadi gila begini!" ucapku kesal pada sebotol susu pisang di tangan lengkap dengan tulisan maaf. Karenanya pula aku harus datang ke sekolah sepagi ini yang masih amat sepi. Aku berencana memberikan susu pisang permintaan Kak David tanpa perlu bertemu dengannya. Mungkin, menaruh di meja lelaki itu adalah pilihan yang terbaik daripada bertemu langsung dengannya. Ngeri!

Omong-omong, aku sama sekali tidak mengetahui tepatnya tempat duduk lelaki itu. Hanya saja, kalau nama lengkapnya telah kutempel di kertas permintaan maaf, menaruhnya di meja mana pun semua orang akan tahu bahwa susu itu untuknya. Lagi pula, aku tak perlu khawatir akan diambil orang lain, karena tak akan ada yang berani berbuat macam-macam jika menyangkut nama Kak David. Cari mati. Juga, aku ingin mengembalikan celana olahraga Kak Sabina. Berhubung mereka satu kelas, mengembalikan dalam satu meja yang sama kurasa tak masalah. Toh, namanya juga tertera di paper bag. Tinggal sweater teman Kak Al saja. Nanti. Urusan belakangan.

"Pagi, Kak," ucapku ramah pada kakak kelas perempuan di depan kelasnya yang tengah piket pagi, bersebelahan dengan kelas Kak David. Namun, meski aku telah melempar senyum manis padanya, ia hanya melengos membuang muka. Lantas, kembali masuk ke kelasnya sambil menenteng sapu. Aku mencebikkan bibir. Menyebalkan.

"Ma ... Mama ...."

Aku terpaku di ambang pintu tatkala ingin memasuki ruangan kelas Kak David. Merasa mendengar suara seseorang. Lirih, amat pedih. Padahal, kuyakin tak ada orang lain selain aku di dalam kelas yang sepi ini. Lagi pula, siapa yang telah datang ke sekolah sepagi ini? Terlalu rajin. Kecuali ia tengah menuntaskan tugas piket yang belum dikerjakan kemarin sepulang sekolah. Seperti gadis di kelas sebelah contohnya. Hanya saja, sejauh mataku mengedar, tak kutemukan seseorang lain yang ada di kelas ini. Hantu?

"Ma ...."

Mengabaikan jantung yang kini gila berdentam, aku melangkahkan tungkai menuju bagian belakang kelas. Sebab, lirih suara kesakitan itu berasal dari sana. Aku tak peduli siapa dia, hantu atau malah makhluk mengerikan lainnya. Yang aku tahu, jantungku berdenyut nyeri setiap kali mendengar deru napas berat bercampur isakkan memilukan itu.

"Kak David ...," Mataku membulat. Terkejut melihat dirinya tidur di antara beberapa kursi yang ia gabungkan sebagai ranjang dadakan. Meski matanya terpejam erat, kulihat ada kegelisahan yang mengganggu tidurnya. Wajah yang selalu datar tanpa ekspresi itu kini tampak ketakutan dan pasi, layaknya seseorang yang takut dikejar mati. Aku bahkan meringis melihat keringat dingin ikut membanjiri keningnya. Menunjukkan benar bahwa ia tak baik-baik saja. Kenapa?

"Mama ...."

Mendekat, kutaruh kedua benda yang kubawa di atas meja. Berjongkok, memperhatikan semua kegelisahannya yang entah sejak kapan dirinya masuk dan merecoki hidupku ini. Ah, tidak. Aku menggelengkan kepala. Bukan dia yang merecoki hidupku, tapi sedari awal akulah yang menciptakan masalah padanya. Aku tak tahu apa sebenarnya masalah yang tengah mengganggu tidurnya. Namun, yang aku tahu, aku tak menyukai dirinya yang terlihat terluka seperti ini. Entah mengapa.

Ah, aku tahu benar apa yang telah aku lakukan ini adalah kesalahan. Namun, aku tak peduli itu. Sebab, melihat isakkan yang keluar dari bibir gemetarnya, selalu berhasil membawa pisau tajam yang tiap detik menghunjam dadaku. Biasanya, dia memang terlihat amat sempurna. Dingin, mengerikan, dan menyebalkan. Namun, saat ini yang kulihat darinya hanyalah seseorang lelaki dengan wajah polos dah amat terluka.

SYIFATahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon