20. Pewarna Bibir

1.7K 169 2
                                    

"Hanya akan bernilai sampah dia yang tega merebut milik orang lain"
~Sendu Merindu~

"Mau ke mana?"

Aku menghela napas lelah. Terlalu malas menanggapi Kak Fikri yang kini tengah memakai dasi kerjanya. Ingatan tentang subuh tadi masih melekat di kepalaku. Rasanya, amat sulit memercayai bahwa aku kini hidup bersama seorang yang tidak percaya pada Tuhan. Kalau Tuhan saja ia tidak cinta, apalagi denganku.

"Jangan mengabaikan saya!" ucapnya dingin saat aku tidak kunjung bicara.

Aku menoleh sebal. "Rumah Bunda. Aku ingin ke sana," jawabku. Lantas, aku kembali memoleskan bedak di wajah. Tidak tebal memang, tapi cukup untuk melindungi kulitku dari tabir surya.

"Saya antar," katanya membuatku kembali menoleh padanya. Ia menatapku. "Biar saya yang antar."

Aku menggelengkan kepala. "Nggak perlu. Lagi pula, kamu harus bekerja, kan?" tanyaku lebih menyerupai sindiran.

Rasanya amat menyebalkan mengetahui dirinya tetap bekerja setelah sehari pernikahan. Meski kini aku mulai tidak ingin peduli padanya, tetap saja aku tersinggung akan sikapnya.

Ah, sudah cukup. Aku tidak ingin berharap lebih dengan menjatuhkan hatiku terlalu dalam pada Kak Fikri, sekalipun dia suamiku sendiri. Dia jelas bukanlah seseorang yang tepat untuk dijadikan pemimpin dalam rumah tanggaku.

"Saya bisa mengantarmu sebelum berangkat kerja."

Aku mendekus kasar. Ingin mengumpati Kak Fikri. Tidakkah dia sadar bahwa penolakanku adalah bentuk pertahanan diri dan untuk menjauhi dirinya? Kenapa ia malah membuat situasi semakin sulit saja, Tuhan ....

"Nggak perlu." Aku kembali menggelengkan kepala. "Saya ada janji sebelum ke rumah Bunda."

Ia memicingkan mata. Tidak lagi fokus memakai dasi kerjanya. "Janji?"

Berdecak pelan, aku menghampiri dirinya. Mengambil alih pekerjaan lelaki itu tanpa sekalipun bicara. Juga, menahan debaran jantung yang makin menggila saat berdekatan dengannya. Apalagi, aku tahu benar bahwa kini ia tengah menatapku lekat.

"Hapus!"

Mengerutkan dahi, aku mendongak menatapnya. Bingung mengapa Kak Fikri kini terlihat amat marah. "Apa?"

Ia mendengkus, menepis tanganku dari dasi yang telah selesai aku kenakan. "Pewarna bibirmu."

"Kenapa harus kuhapus?" Aku bersungut tidak suka. Lagi pula, aku bukan memakai pewarna bibir merah menyala untuk menggoda pria di luar sana. Hanya warna nude yang kupoles tipis seperti biasa untuk menyegarkan wajah pucat. Apalagi, setelah menangis lama di kamar mandi tadi. "Ini pewarna yang biasa aku pakai."

Ia menipiskan bibir dan mengetatkan rahang. Aku bahkan meneguk ludah ngeri melihat dirinya. Bingung dengan emosinya yang amat mudah berubah-ubah. "Sadarlah. Bibir kamu itu jenis bibir penuh tebal memerah yang hanya dipoles pewarna setipis apa pun juga bisa menghancurkan segalanya."

Aku mengedip, mencebikkan bibir. Kesal padanya yang selalu saja menghina bagian tubuhku. Menghancurkan katanya? Ck! Apa aku seburuk itu?!

"Menghancurkan katamu?!" tanyaku sebal. "Berhenti menghinaku, bibirku nggak seburuk itu."

"Menghina?" tanyanya, terdengar tak percaya. Aku mengangguk padanya. Ia berdecak sambil menggelengkan kepala. "Bodoh!"

SYIFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang