11. Dua Warna

2.4K 225 25
                                    

"Seberat apa pun masalahmu, Tuhan selalu bersedia mendengarkan semua keluh kesahmu"
~Sendu Merindu~


Aku memejamkan mata erat. Berusaha keras menyingkirkan bayangan Kak David yang tak henti merecoki kepalaku. Juga, dadaku yang tak henti berdesir ganjil karenanya. Seharusnya, tidak begini. Tujuanku datang ke Jakarta dan pindah ke sekolah umum bukan untuk cinta-cintaan seperti para remaja lainnya. Atau, ikut arus pergaulan remaja kota. Namun, tidak lain untuk menuntaskan rasa penasaranku pada sekolah umum dan segala tetekbengeknya.

"Yak! Enyahlah!" Aku meninju udara. Berusaha keras menyingkirkan bayangan Kak David yang terus menatap sambil tersenyum di sana, duduk di dahan pohon yang sama denganku. Aku mengertakkan gigi saat melihat bayangan dirinya tetap ada di sana. Menyebalkan. "Pergi dariku bodoh!"

"Nggak waras!"

"Ya Tuhan!" Aku berjengkit kaget. Pun, hampir tergelincir dari pohon mangga belakang sekolah yang kunaiki. Di salah satu pohon mangga lain, Kak Al ada di sana. Ia duduk berselonjor kaki di dahan pohon sama seperti yang kulakukan. Kulihat, ada headphone merah yang menggantung di lehernya. "Kak Al?"

"Lo pikir siapa?!" tanyanya sentimen. Aku meneguk ludah menerima responsnya yang tak pernah ramah. Ia memperhatikanku dengan alis mengerut. "Bisa manjat?"

"Aku nggak bakal duduk di sini kalau nggak bisa manjat, Kak," ucapku menanggapi pertanyaan bodohnya. Aku mengedarkan pandangan, mencari ketiga temannya. "Kakak sendiri?"

"Sendiri. Kecuali lo bisa lihat apa yang nggak gue lihat," katanya. Aku mencebikkan bibir karenanya.

Omong-omong, mengapa ia ada di sini tanpa ada ketiga temannya yang menemani? Kalau aku, berhubung sedang berhalangan salat aku memutuskan mengasingkan diri di tempat yang tak sengaja kutemukan ini. Sangat menyenangkan untuk dijadikan waktu tidur siang. Namun, dirinya? Sedang apa? Kurasa dia bukanlah sosok melankolis yang suka menyendiri sambil mendengarkan musik. Di pohon mangga pula.

"Oh, iya. Sweater kemarin, aku--,"

"Bukan punya gue," ucapnya memotong. Dia mendelik menatapku. "Balikin sama orangnya sendiri. Gue nggak mau dititipin."

Aku mengedip. Tak menyangka lelaki itu akan tahu niatku yang ingin menitipkan padanya. Dia cenayang?

"Omong-omong, kenapa gue ngomong sama lo?" tanyanya terdengar tak percaya. Aku mengerutkan alis bingung melihat tingkah anehnya. "Kita, kan musuh. Nggak seharusnya ngobrol begini ini."

Aku menganga, baru sadar bahwa dia adalah orang aneh dan tak waras yang harus kuhindari. Oh, sejak kapan pula kami bisa berbicara tanpa adanya drama mulut seperti sebelumnya?

"Ingat! Lo masih jadi incaran gue!" katanya menuding. "Jadi nggak usah berlagak seolah kita dekat."

Aku mencebikkan bibir. Sejak kapan pula aku merasa dekat dengannya? Tidak. Meski kedekatan itu nyata, aku lebih memilih menghindari dirinya. Sebab, selain tak waras, dia juga berbahaya. Namun, tunggu! Mengingat aku telah ia jadikan sebagai mangsa incarannya, mengapa sampai sekarang ia belum juga melancarkan aksinya? Apakah dia telah lupa cara menindas seseorang? Aku bukan berharap ingin cepat ditindas olehnya, tentu saja. Hanya saja, aku merasa aneh. Alih-alih, menindas, dia malah membantuku di kantin kemarin.

SYIFAWhere stories live. Discover now