32. Hari Membenci

2K 153 41
                                    

"Saat kepercayaan dihancurkan dengan pengkhianatan. Jangan harap wajahmu akan dilihat layaknya berlian. Karena kamu hanya akan dianggap layaknya kotoran"
~Sendu Merindu~

Uek!!!

Aku tak henti memuntahkan isi perut yang hanya berupa cairan bening di wetafel. Terjatuh lemas di lantai kering kamar mandi dengan tangis berderai putus asa. Tak menyangka jika takdir Tuhan malam membuatku hancur seperti ini. Aku bahkan tak memedulikan orang-orang yang datang bertakziah di bawah sana. Entah telah pulang, atau malah masih ramai.

"Berdiri, Fa. Lo nggak seharusnya kayak gini," ucap Sari yang sejak tadi menemaniku. Ia membantuku berdiri, menuntunku kembali masuk ke dalam kamar. Ia meringis pelan sambil mengusap air mataku. "Meski mulut lo nggak bisa menelan makanan, tapi perut lo butuh diisi. Asam lambung lo bisa naik nanti karena nggak diisi sejak siang tadi."

Aku menggelengkan kepala saat Sari menyodorkan nampan berisi piring makanan. Melihatnya saja aku sudah tak berselera. Apalagi, saat teringat luka tusukan di perut Ayah dan Bunda di rumah sakit tadi yang berhasil membuat perutku mual bukan main. Bahkan setelah pemakaman sore tadi, aku tak bisa melupakan bayangan luka tusukan mereka. Amat mengerikan.

"Ah, coba lihat betapa pucat wajah lo saat ini, Fa. Mata lo bahkan sembab karena nggak berhenti nangis sejak tadi," gerutunya. Ia kembali mengusap air mata yang tak henti mengalir di pipiky. Aku sendiri bahkan tak bisa mengontrol air mataku itu. "Ya Tuhan ...."

"Yang lain sudah pulang?" tanyaku lirih padanya. Mengalihkan pembicaraan.

"Ya, para tetangga sudah pulang sejak jam sembilan tadi. Kak Al, Kak Raka, Sella, dan Sarmi masih di bawah akan menginap."

Aku terenyuh. Tak menyangka mereka akan ada di saat aku rapuh seperti ini. "Terima kasih," ucapku.

Sari mengangguk dan mengelus lembut punggungku. "Omong-omong. Sejak tadi gue nggak lihat adanya suami lo, Fa. Di mana dia?"

Aku tersenyum kecut mendengar pertanyaan Sari. Kak Fikri? Ah, aku bahkan yakin dia tengah tertawa bahagia saat ini bersama istri tercintanya yang tengah mengandung itu. Berpesta bahagia di atas penderitaan yang telah ia berikan padaku. Entah mengapa, meski aku mencintai lelaki itu, aku amat benci mengingat wajahnya. Jijik pada diriku sendiri yang telah menyerahkan diri pada lelaki iblis itu. Ah, mungkin juga aku hanya ia jadikan wanita murahan penghangat ranjangnya selama ini, bukan wanita yang ia cintai.

"Fa ...."

Aku tersentak dari lamunan saat Sari menyelipkan rambutku di daun telinga. Ia tersenyum lembut padaku. "Semuanya baik-baik saja, kan?"

Aku mengangguk. Tak bisa menceritakan masalahku dengan Kak Fikri pada Sari, meski aku ingin. "Semua baik-baik saja, Sar."

"Syukurlah."

"Sar, bisa panggilkan Kak Raka?"

"Kak Raka?" tanyanya bingung. Aku mengangguk. "Kenapa?"

"Aku ingin bicara penting padanya."

"Oh, oke," katanya. Lantas, berdiri. Aku bahkan berusaha tak memedulikan wajah penasaran sahabatku itu. "Akan gue panggilkan."

Aku mengangguk. Membiarkan Sari keluar dari kamar. Menitik air mataku melihat ada daging rendang di piring nasi. Ingat pada ucapan Kak Fikri yang menginginkan rendang kemarin malam. Tak menyangka malam itu akan menjadi malam kenangan yang amat menyakitkan untukku. Kesal, aku melempar nampan berisi piring makanan dan segelas air itu. Membiarkannya pecah berserakan di lantai dan kembali memecahkan tangis frustasi. Rasanya aku tak sanggup lagi menjalani hidup ini.

SYIFAWhere stories live. Discover now