1. Dia Yang Mengisi Lembar Pertama

5.6K 370 28
                                    

"Hukum kehidupan ; ada yang datang, ada pula yang yang pergi. Namun, dia yang paling berkesan, akan tetap tersimpan di hati"
~Sendu Merindu~

Jakarta, 5 tahun lalu.

"Ah, ini dia ...," ucapku sambil merentangkan kedua tangan. Menghirup udara kebebasan, meski udara penuh asap dan debu malah yang kudapatkan.

Ah, udara kota ternyata tak seperti kampung halamanku yang menyejukkan. Terlebih, karena masih berdirinya pepohonan yang siap menyaring udara kotor yang beterbangan. Namun, di sini rasanya aku memang harus bertarung dengan sirkulasi udara berpenyakit. Sebab, pohon nyaris tiada, kendaraan bermotor menyemut adanya, asap pabrik, dan pembakaran bukit sampah tiap detik semakin menambah daftar bahaya. Udara di kota nyatanya memang butuh penanganan segera.

"Aneh."

Aku mengernyitkan dahi saat mendengar bisik-bisik, juga tatapan penasaran beberapa murid di halaman sekolah. Bahkan ada pula yang lebih memilih melengos membuang muka saat aku melempar senyum cerah. Tunggu! Mungkinkah ada yang salah dariku? Misal, ada kotoran di mata, atau iler masih melekat di pipiku begitu? Namun, seharusnya tidak. Sebab, aku membersihkan diri sebelum berangkat sekolah tadi.

Mengabaikan mereka, aku memutuskan mencari ruang kepala sekolah. Melangkah ringan dengan hati riang. Sebab, ini kali pertama aku bisa merasakan bersekolah di sekolah umum--bebasis swasta, bukan pesantren seperti sebelumnya. Inilah yang aku harapkan. Menuntaskan rasa penasaranku pada ruang lingkup sekolah umum, swasta. Tentang pergaulan, cara berpikir dan memandang, juga teguhnya kepercayaan pada Tuhan meski kenakalan lebih menarik perhatian.

Lihat saja sekarang, aku telah menjadi pusat perhatian di sepanjang koridor di pagi ini. Mulanya, aku tak tahu apa yang membuat mereka begitu tertarik memperhatikanku sampai menatap sinis dan mengerutkan dahi, seolah aku adalah makhluk paling aneh di muka bumi. Namun, semakin aku mendengar dan sadari, penampilanku yang tengah menjadi bahan nyinyiran mereka. Sepanjang koridor dan halaman sekolah, tak satu pun kutemukan adanya gadis bertudung kepala--sama seperti yang kukenakan. Semuanya memakai rok polos di atas lutut, dengan kemeja biru muda ketat sebagai atasan. Persis seperti pakaian karakter komik jepang. Cantik sekali.

Ah, sepertinya ini salah satu tantangan yang harus kujalani ke depannya. Dikucilkan hanya karena pakaian tak sesuai dengan standar mereka. Pantas saja Ayah sangat sulit memindahkan aku ke sekolah ini.

Tak mau semakin menjadi pusat perhatian, aku melangkahkan tungkai tergesa. Berusaha keras tak menganggap mereka ada. Aku tak boleh lemah hanya karena tatapan sinis mereka, meski kini jantungku berdentam keras karenanya.

Bukk!!!

Aku terkesiap. Mendongak sambil mengusap kening yang terasa nyeri. Aku terkejut bukan main saat melihat seorang lelaki jatuh terjengkang di depan kakiku, keningnya ditimpa pula oleh bola basket--yang mungkin miliknya sendiri. Seyogyanya, tawa anak-anak di koridor ini menggelegak melihat dirinya yang terlihat lucu. Namun, yang kudapati tidak demikian. Alih-alih tertawa layaknya orang gila, kebungkaman yang malah melanda mereka. Termasuk ketiga lelaki yang berdiri dengan wajah muram terkejut menatap temannya itu.

Aku mundur selangkah saat lelaki tinggi berbandana merah itu berdiri sambil meringis menyentuk keningnya. Dia mengibas debu di pakaiannya. Menunjukkan gerakan pelan, tapi mampu mengintimadasi dalam waktu bersamaan. Terdengar ia menggeram tertahan, menengadah sambil berkacak pinggang, dan tertawa membuat tubuhku mendadak gemetar. Terlebih, saat tatapan tajam dari netra cokelatnya yang malah aku terima.

SYIFAWhere stories live. Discover now