5. Hangatnya Sentuhan

3.1K 281 22
                                    

"Perkataan umat manusia paling kejam adalah hinaan penghakiman yang bersembunyi dalam embel-embel nasihat kebaikan"
~Sendu Merindu~

Seharusnya aku sadar bahwa yang namanya masalah tidak akan bisa dianggap biasa dan kuabaikan begitu saja. Sebab, setiap kali aku menghindarinya, maka masalah itu sendiri akan terus mengejar dengan gila. Nahasnya, berujung timbul masalah lainnya.

Seperti saat ini, misalnya. Menghindari Kak Al kemarin, malah mengundang lelaki itu datang saat ini--di depan kelasku, sambil bersandar di dinding dengan tangan terlipat. Dia memang sendiri, tapi mampu membuat suasana pagi ini berubah ngeri. Bahkan, teman-temanku harus menunduk rikuh melewati dirinya untuk masuk ke dalam kelas.

Aku meneguk ludah kasar kala ia menatapku sambil menyunggingkan seringai mengerikan. Melihatnya seperti itu membuat langkahku berubah kaku. Ingin berbelok ke arah lain, tapi ia sudah terlanjur melihatku. Ingin melanjutkan langkah, aku malah takut dijegat olehnya. Serba salah, tentu saja. Seandainya aku tak memiliki masalah pada lelaki berbandana merah itu, mungkin sejak tadi aku telah memasuki kelas melewati dirinya.

Menghela napas pendek, kuputuskan melanjutkan langkah. Lagi pula, belum tentu aku yang lelaki itu tunggu, kan?. Ya, belum tentu aku. Seharusnya, aku tak perlu over thinking seperti itu. Namun, mengingat aku mempunyai masalah dengan lelaki itu, semakin meningkat sudah kenegatifan pikiranku bahwa memang akulah yang dia tunggu. Ah, tidak. Berpikir positif. Angkat dagu tinggi, lewati, dan anggap ia tak ada. Ya, seharusnya begitu. Abaikan!

"Punya nyali juga ternyata," katanya berhasil menghentikan langkahku.

Menoleh, kutatap ia yang kini berdiri tegak sambil memasukkan kedua telapak tangan pada saku celananya. Sialnya, aku malah mendadak sesak napas melihat dirinya. Selain tinggi, ia juga ternyata memiliki rupa yang amat mengagumkan. Terlihat tegas dengan mata yang selalu menyorot tajam. Setiap kali dagunya mengentak, dadaku ikut tersentak tanpa sebab. Pun, ketika ia mengedip, sesuatu yang keras terasa meninju perutku. Ya Tuhan, beginikah efek dari jarangnya melihat dan bergaul dengan lelaki sejak dulu? Hatiku yang lemah ini mudah terpesona hanya karena melihat lelaki tampan seperti dirinya.

"Apa?!" sentaknya kasar membuatku buru-buru menggelengkan kepala pelan. Ia berdecak. "Kalau nggak, kenapa lo tatap gue gitu?"

Aku meneguk ludah kasar, menatap dirinya yang terlihat sebal. Mengeratkan pegangan pada tali tas punggung dan berusaha keras menyadarkan diriku agar aku tak terlalu terpesona pada sosoknya. Ah, sampai kapan pun tak akan kubiarkan pikiran dan hatiku dikuasai olehnya. Dia terlalu berbahaya.

Oh, seseorang tolong pukul kepalaku agar amnesia. Setidaknya, melupakan siapa dirinya dan masalahku padanya.

"Siapa, ya?" Aku meringis dalam hati. Tak menyangka bibirku akan berbicara omong kosong seperti ini. Ya Tuhan, mengapa aku jadi bodoh begini?

Ia mendekat, menunduk, menyejajarkan wajahnya padaku. Aku bahkan harus menarik kepala agar tak terlalu dekat dengannya. Sungguh, tatapan menelisiknya berhasil membuatku menahan napas, membiarkan jantungku berdetak berlebihan. Ngeri.

"Pura-pura amnesia?" tanyanya sinis, sambil mengangkat sebelah alisnya. Aku hanya bisa bungkam karenanya. "Mau gue ingetin siapa gue?"

Aku praktis menggelengkan kepala. Tak ingin memperparah keadaan yang memang telah runyam. "Nggak, Kak."

"Siapa?"

"Kak Al," jawabku, meringis pelan. Setelahnya, mengedarkan pandangan pada teman sekelasku yang menatap penasaran dari dalam sana. Mengintip dari jendela kaca. Juga, dengan kelas lainnya yang mendadak menyibukkan diri di koridor kelas pagi ini. Aku menggigit bibir, kembali menatapnya. "Kak, Alvindra Fahry."

SYIFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang