16. Luka Yang Ditinggalkan

1.8K 166 13
                                    

"Sepelik apa pun takdir yang Tuhan berikan, menyalahkan Tuhan ada suatu kesalahan"
~Sendu Merindu~

Ya Tuhan ....

Lelaki itu ....

Aku ingat betul siapa dirinya. Lelaki gila di kapal waktu itu, saat aku akan pindah ke Jakarta beberapa tahun lalu. Bagaimana bisa lelaki dewasa itu yang menjadi suamiku?

Ya Tuhan ... takdir macam apa ini?

"Nak," tegur Bunda menyadarkanku dari kembungkaman sesaat. Ia menggamit lenganku. "Ayo, datangi suamimu."

"Bunda ...," Bibirku gemetar kala berucap. Kugenggam tangan renta Bunda minta kekuatan, amat takut menghadapi takdirku kali ini. Terlebih, saat lelaki gila itu yang menjadi suamiku saat ini. "Katakan bukan dia suamiku, Bunda. Tolong katakan itu."

"Apa maksudmu, Nak?" tanya Bunda berbisik pelan. Mengusap lembut tanganku. "Dia Azzam Fikri, suamimu. Apa yang salah?"

Allah ....

"Ayo, Nak."

Bunda menuntunku pada lelaki itu yang kini berdiri kaku. Seolah tengah menyambutku. Namun, aku rasa tidak. Sebab, tatapan itu ... aku merasa tidak mengenalnya. Dia sangat berbeda dari yang pertama kali aku melihat dirinya. Kini tatapannya itu terlihat amat--dingin.

"Salami suamimu," bisik Bunda padaku. Bahkan ia menarik tanganku pelan, menyatukan dengan tangan lelaki itu.

Aku berjengkit. Merasakan desiran aneh dari penyatuan kedua telapak tanganku dan dirinya sampai ke seluruh tubuh. Mendongak, kutatap ia yang tidak menunjukkan ekspresi berlebih, amat kaku. Jadi, hanya aku yang merasakan sentruram listrik aneh ini? Mengapa?

"Nak," tegur Bunda. Aku linglung melihat dirinya. "Ayo, salim."

Aku kembali menoleh pada Kak Fikri. Lelaki itu masih sama, dingin seperti sebelumnya. Pun, tidak kurasakan genggamannya di tanganku. Hanya aku yang menggenggam tangannya.

Meski gugup, aku tetap mengukir senyum padanya. "Assalamualaikum, suamiku," ucapku getir. Lantas, mencium punggung tangannya.

Magis. Aku tidak tahu sesuatu apa yang mengembang di dadaku kali ini. Bergemuruh, lapang, dan menghangat secara bersamaan. Bahkan, aku sampai menitikkan air mata yang tak kumengerti artinya. Rasanya, perasaan ini seperti halnya aku mendapati sesuatu yang amat kurindukan sebelumnya. Aku bahkan sampai memejamkan mata erat, menghirup aroma punggung tangannya. Terlebih, tidak mampu menahan haru saat salah satu telapak tangannya menyentuh puncak kepalaku.

Doa? Namun, kenapa hanya sekilas? Penasaran, aku mendongak. Lelaki itu memalingkan wajah dengan rahang mengeras. Apa yang salah?

"Ayo, tanda tangani semua berkas pernikahan."

Aku masih menatap dirinya bingung saat Bunda mendudukkanku di kasur akad. Menerima berkas-berkas pernikahan yang harus kutanda tangani. Meski tanganku sibuk pada berkas, hati dan pikiranku tidaklah begitu. Ada yang salah dengannya dan pernikahan ini. Ia terlihat tidak menyukaiku. Apakah kata-katanya beberapa tahun lalu yang tak menyukai gadis remaja berbadan mungil sepertiku masih berlaku?

***

Aku hanya bisa berdecak tidak mengerti saat menyeret koper besar di tanganku. Baru selesai pernikahan, Kak Fikri telah memboyongku untuk pulang ke rumahnya. Anehnya lagi, aku hanya bisa mengikuti dirinya tanpa sekalipun membantah. Pun, kedua orang tuaku hanya bisa menuruti perkataan lelaki itu. Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi pada suamiku ini. Atau, pada kedua orang tuaku yang hanya diam saja. Yang aku tahu, aku hanya berkewajiban mengikuti dirinya ke mana pun ia pergi.

SYIFAWhere stories live. Discover now