6. Cara Memandang

2.8K 247 15
                                    

"Karena hasil pikiranmu, akan diperoleh dari cara memandangmu"
~Sendu Merindu~


Tak henti aku mondar-mandir sambil menggigit bibir bawah, di depan kelas dua belas IPA 1--kelas Kak David. Menenteng paper bag berisi ponsel yang sudah kuperbaiki, juga sebotol susu pisang sebagai permintaan maaf.

Aku tak mengerti mengapa jantungku tak berhenti berdetak keras. Apalagi, ditatap oleh kakak kelas yang kebetulan masih ada di koridor kelas. Ah, seharusnya Kak David tak menetapkan janji pada jam masuk seperti ini. Jam delapan pagi--tepat saat bell masuk berbunyi. Aku tentu akan telat masuk kelas, juga menghampiri dirinya. Sebab, sampai saat ini aku belum juga berani melangkahkan kaki memasuki kelasnya.

"Ish, Ya Allah ...."

Aku menghentakkan kaki sebal. Ingin menangis saja rasanya. Namun, dalam kegusaran yang terus melanda, pertolongan Tuhan datang tiba-tiba.

"Cari siapa?"

Aku menganga. Tak pernah menyangka bisa melihat malaikat--ah, perempuan secantik gadis yang berdiri di depanku ini. Kulitnya putih bersih nyaris pucat, bibirnya penuh memerah, hidungnya mungil, dan matanya yang besar dipayungi bulu mata lebat nan lentik. Alisnya yang lebat bahkan melengkung sempurna, seolah diukir secara sengaja, rapi, tapi tidak berlebihan. Dia jelas bukan manusia. Aku yakin Tuhan sedang tersenyum saat menciptakan dirinya.

"Hai," tegurnya sambil melambaikan tangan. Aku mengerjap bodoh melihatnya kini menyunggingkan senyuman. Dia terlalu serakah. Sebab, bukan hanya kedua pipinya yang berlesung dalam, tapi juga kedua ujung bibir bagian bawah--meski hanya lubang kecil. Ah, dia terlalu cantik dan manis secara bersamaan. "Cari siapa?"

Ya Tuhan ....

Bahkan suaranya yang merdu mampu mendesirkan dadaku. Kalau aku yang perempuan saja bisa terpesona melihat kecantikan dirinya, apalagi dengan para lelaki. Aku bahkan yakin banyak yang akan rela bertaruh mati demi mendapatkan cinta gadis ini. Dia terlalu sempurna dan pantas untuk dicintai.

"Kakak di kelas ini?" tanyaku hati-hati. Ia mengangguk sambil memeluk beberapa buku di dadanya. Ah, sempurna. Pintar dan cantik secara bersamaan. Ramah pula. Kalau aku ada saudara lelaki, sudah kupinta ia melamar gadis ini.

"Mau cari siapa?" tanyanya lagi, tak juga melunturkan senyum manisnya.

"Kak David."

Keningnya mengerut. Tampak terkejut. "Davendra?" tanyanya memastikan. Aku mengangguk sebagai jawaban. "Oh. Masuk aja."

Aku menggelengkan kepala. Ia menatapku bingung. "Bisa panggilin aja nggak, Kak?"

Ia terpaku. Tampak tak nyaman dengan permintaanku. Aku menatap cemas melihat ekspresinya. Apakah Kak David semengerikan itu hingga teman sekelasnya saja enggan menyapanya?

"Kak?"

Ia menggigit bibir bawah, kulihat semakin erat ia mendekap bukunya. "Kenapa nggak masuk sendri?"

"Takut," ucapku. Aku mengedip polos. "Kak David mengerikan."

Ia terkekeh geli. Mengundangku untuk ikut menyunggingkan senyum melihat betapa cantik dirinya. "Dia memang semengerikan itu," katanya di sela tawa. Lantas, menyembulkan kepala ke dalam kelas, "Davendra ..., ada yang nyari," teriaknya, amat lembut. Lantas, ia kembali menoleh padaku. "Dia ke sini."

SYIFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang