3. Tak Percaya

3.2K 292 12
                                    

"Penghakiman adalah murni hak Tuhan. Dan manusia tidak berhak bertindak menghakimi seseorang seolah dirinya Tuhan"
~Sendu Merindu~

Tak ada yang bisa kulakukan selain melongo bodoh di ambang pintu saat melihat keadaan kelasku. Kacau. Tak ada satu pun yang membaca buku seperti dugaanku. Alih-alih, mereka berkumpul di belakang kelas sambil bermain gitar sumbang, pun menyanyi dengan suara yang tak kalah sumbangnya. Sebagian lain bermain catur, dan sebagian lain asyik berdandan. Amat berbeda dengan kelasku dulu.

"Maklumin, ya," ucap Sari menepuk bahuku. Aku menoleh padanya, ia menyengir kaku. "Keadaan kayak gini tentu nggak bakal lo temuin di pesantren. Ya, beginilah kegilaan di sekolah umum. Cerita dari novel dan film tentang kenakalan remaja anak sekolah itu memang benar adanya. Jadi, lo nggak usah kaget, ya. Maklumin aja."

Aku mengangguk. Sejak kali pertama aku memutuskan memilih sekolah umum sebagai tempat menimba ilmu, aku tentu harus menerima setiap perbedaan di sekolahku dulu. Kini, bukan hanya anak-anak yang gila ilmu yang harus kuhadapi, tapi juga kegilaan akan duniawi, cara berpikir, juga cara bergaul mereka. Jelas tak akan sama.

Aku menghela napas pendek, ingin mencari ketenangan untuk sesaknya kepala dan dada. Lantas, kutatap Sari. "Aku ke toilet dulu, Sar. Cuci muka."

Sari mangangguk. "Mau gue temani, nggak?"

Aku menggelengkan kepala. "Nggak usah. Aku sendiri aja."

Ia mengangguk lagi. "Omong-omong, toiletnya di ujung koridor sayap kiri," katanya menjelaskan. Aku mengangguk mengerti.

Meninggalkan kelas, aku tak henti menghela napas. Sesekali bahkan mengerucutkan bibir ke samping. Kini bahkan aku membiarkan dadaku berperang batin. Salahkah aku memilih sekolah umum, alih-alih pesantren seperti sebelumnya? Bahkan, belum genap sehari saja, aku bahkan telah merindukan keadaan tenang pesantrenku dulu.

Dulu, di pesantren aku tentu tak pernah melihat situasi aneh seperti tadi. Selain di kelasku yang memang hanya dikhususkan untuk perempuan, obrolan kami pun tidak pernah membahas tentang alat perias wajah. Alih-alih, tentang hapalan Quran, Hadist, dan sesekali membahas ikhwan tampan penghuni pesantren--yang kebetulan suka menunjukkan keindahan suara lewat adzan. Lagi pula, tak ada gunanya kami membahas alat perias wajah. Di pesantren kami jelas tak pernah dapat menggunakannya. Kami sudah biasa tampil dengan wajah kusam berminyak, dengan bibir pucat keungu-ungan layaknya terong busuk. Tak seperti ini.

Trak!

Aku terkesiap, menunduk mundur mencari tahu apa yang sekiranya telah terinjak olehku. Namun, saat melihat benda pipih menyala dengan sisi pecah di layarnya, aku secara impulsif menutup mulut menggunakan tangan. Terkejut. Bagaimana bisa ponsel itu terinjak olehku? Ponsel siapa?

"Pecah?"

Aku mengalihkan pandangan pada sumber suara. Seorang lelaki dengan wajah dan rambut basah duduk di lantai sambil memakai sepatu di dekat ponsel yang terinjak olehku. Jantungku bertalu saat itu, baru menyadari sejak tadi aku melamun hingga tak sadar telah sampai di area toilet. Pun, tak sadar berjalan mepet pada dinding hingga berujung menginjak ponsel miliknya. Aku menggigit ujung lidah saat lelaki itu beranjak mengambil ponselnya. Meneliti. "Pecah," katanya, datar.

Aku meringis, memainkan jemari saat ia menatapku tanpa ekspresi. Ia mengangkat ponsel miliknya, menunjukkan padaku. "Siapa yang salah?" tanyanya dingin, mampu menggetarkan tulangku.

SYIFAWhere stories live. Discover now