30. Kesepakatan Yang Dihancurkan

1.6K 108 36
                                    

"Untuk apa berkata cinta jika semua dihancurkan dalam sekejap mata, yang berujung hanya menimbulkan kebencian yang nyata"
~Sendu Merindu~

"Kamu nggak perlu menemani saya, Ay," ucap Kak Fikri sekali lagi, menggangguku yang kini berhias diri.

Aku menoleh padanya. "Dan membiarkan suamiku datang ke pesta sendiri?" Aku tersenyum sinis. Menatapnya kesal. Tak memedulikan penampilannya yang kini luar biasa tampan dengan jas hitam. Amat pas ditubuhnya proporsional. "Aku nggak akan membiarkan para wanita kurang belaian melirik suamiku kelaparan. Sekarang itu lagi zamannya pelakor. Nggak mau aku suamiku jadi incaran mereka."

Ia terkekeh pelan. "Cemburu, eh?" tanyanya menyeringai. Menatapku dari ranjang, duduk di sana.

Tak seperti dirinya yang selalu menampik jika kugoda dengan kata-kata yang sama seperti itu 'cemburu', maka aku tidak. Aku bahkan menganggukkan kepala, menatapnya lekat. "Ya, tentu saja aku cemburu. Aku suka berbagi, tapi untuk suami--, ah, jangan harap! Kamu milikku. Seujung kuku aku nggak sudi tubuhmu disentuh wanita lain kecuali aku. Nggak ridho dunia akhirat."

"Kalau begitu mari kita buat kesepakatan," katanya beranjak dari ranjang. Memutar tubuhku yang duduk di kursi rias. Lantas, ia berjongkok di depanku. Ah, meski dia sering kali melakukan hal semacam ini, tetap saja jantungku berdebar kencang karena perlakuannya. Ia mendongak, menatapku lekat dan terkesan dingin. "Saya beri kamu hak atas diri saya. Kamu bebas melakukan apa pun pada wanita yang berani menyentuh saya. Dan, saya pun bebas melakukan apa pun pada para lelaki yang menyentuhmu hina walau seujung kuku. Menyingkirkan mereka, misalnya."

Aku meneguk ludah. Amat mengerikan mendengar ucapannya. Dia seperti bukan manusia.

"Bagaimana?" tanyanya mengelus lembut sebelah pipiku. "Kesepakatan yang mudah, kan?"

"Menyingkirkan bukan berarti membunuh, kan?" tanyaku ngeri.

Ia mengedik bahu. "Tergantung bagaimana kamu menilainya. Karena bagi saya, menyingkirkan berarti juga melenyapkan. Kamu bisa menebak apa yang akan saya lakukan."

Aku menggelengkan kepala. "Kamu nggak akan melakukan perbuatan keji yang akan membuatmu dibenci Tuhan." Aku menunduk, memeluk dirinya. "Aku percaya kamu nggak akan melakukan apa pun yang akan membuatku juga membencimu."

"Kalau begitu jangan biarkan saya melakukan itu. Semua tergantung denganmu, Ay. Kalau kamu melanggar kesepakatan kita, kamu tahu aku bahkan dengan mudah melakukan apa pun yang saya mau. Termasuk menyingkirkan orang-orang yang mengganggu saya."

Aku mengangguk. Melepas pelukan. Menatap dirinya dengan senyum mengembang dan mengulurkan tangan. Ia menatap tanganku dengan salah satu alis terangkat. "Aku menerima kesepakatan kita," ucapku membuatnya terkekeh.

"Kita bukan partner kerja yang harus berjabat tangan, Ay. Tapi partner hidup." Ia mengangat tubuhnya, mencium keningku lama. Aku bahkan memejamkan mata menerima perlakuannya. Hangat dan mendesirkan dada. "Seperti ini yang seharusnya. Meski nggak tertulis di atas kertas perjanjian, tapi janji kita telah disaksikan langsung oleh Tuhan. Jadi jangan pernah membiarkan dirimu disentuh oleh seseorang yang nggak diridhoi Tuhan. Karena bukan hanya saya yang akan kamu khianati, tapi Tuhanmu sendiri."

Aku mengangguk. Balas mencium keningnya hingga ia tertegun. Aku bahkan tersenyum melihat wajahnya yang kini kaku memerah, amat kontras dengan kulitnya yang bersih. Ah, kalau mau diingat, meski aku sering mencium pipi dan bibirnya, ini kali pertama aku mencium keningnya. Tidak ada lecutan gairah seperti biasanya, tapi mampu membuat tubuhku terasa melayang di udara, amat magis. "Kalau hanya Kakak yang mencium keningku, berarti kesepakatan kita belumlah berlaku. Balas menciummu berarti aku menerima kesepakatan ini. Jadi, selamat bekerja sama partner hidup."

SYIFAWhere stories live. Discover now