15. Dia Yang Lalu

2K 204 7
                                    

"Terkadang, sesuatu yang amat kau sukailah yang kelak akan berpotensi besar menghancurkan hidupmu"
~Sendu Merindu~

"Ah, tetap aja nggak bisa sebaik sebelumnya. Lo masih terlihat kacau, Fa. Kalau seperti ini, apa yang akan orang lain katakan saat melihat penampilan lo nanti?"

Aku tidak peduli apa pun tentangku, ataupun tentang pandangan orang lain terhadapku. Yang aku tahu, hatiku kini masih terbelenggu erat oleh harapan semu yang telah dihancurkan Tuhan. Kini, bahkan aku merasa tidak lagi menggenggam harapan yang kutinggikan selama ini. Semuanya terasa hilang bersamaan dengan hatiku yang telah mati.

"Fa, gue tahu lo hancur," ucap Sari menghapus air mataku kembali. Ia bahkan ikut terisak pelan bersamaku. "Ini adalah jalan yang udah lo pilih, sekaligus pilihan Tuhan. Jangan lo hancurkan kepercayaan Tuhan, atau malah lo nodai ikatan suci ini bahkan sebelum lo memulai. Jalani, Fa. Jalani pernikahan lo ini. Lo harus tahu, meski beribu lelaki datang menawarkan janji cinta, akan kalah dengan seseorang yang datang dengan membawa janji pada Tuhan. Lo percaya janji Tuhan, kan?"

Aku mengangguk. Memeluk erat tubuh Sari. Membagi apa yang aku rasakan kini padanya. Terisak pilu di bahunya.

"Seberapa pun lo membenci takdir Tuhan. Tuhan nggak akan pernah bisa lo tentang," bisiknya pelan. Mengusap pelan punggungku. "Jangan pernah menentang Tuhan hanya karena manusia, Fa. Tapi tentanglah manusia hanya karena Tuhan."

Aku mengangguk. "Terima kasih, Sar. Terima kasih sudah menyadarkan aku dari kesalahan pikiran ini. Aku seharusnya nggak begini."

"Lo sahabat gue, Fa. Sudah sepatutnya gue ada di saat lo sedang rapuh seperti ini." Ia menarik diri, melepas pelukan kami. "Ayo, semua orang sudah menunggu lo. Jangan buat mereka semua khawatir."

Aku mengangguk. Membiarkan Sari menuntun telapak tanganku pada dada kiriku. "Di sini adalah sumber dari segalanya. Tanamkan keyakinan atas nama Tuhan di dada lo ini. Termasuk cinta yang Tuhan ridhoi. Cinta di dada lo ini adalah hak murni milik suami lo. Jangan pernah lo nodai dengan membaginya sama orang lain."

"Allah ...," lirihku berucap, bergetar raga karenanya. Merasa amat berdosa pada Tuhan dan suamiku sendiri, karena telah mencintai orang lain selain dirinya. "Allah, maafkan aku."

"Ayo," katanya, menggenggam erat tanganku. "Gue akan temani."

Aku menghela napas pendek. Menghapus air mata di pipi. Lantas, memantapkan hatiku untuk menjalankan semua pilihanku dan Tuhan ini. "Bismillah."

Menggenggam erat tangan Sari, aku melangkah di samping gadis itu. Tidak membiarkan lagi keraguan merecoki dada dan pikiranku. Pun, kupaksakan tersenyum bibirku, meski amat kaku.

"Gue cuma mau kasih tahu," bisik Sari, saat aku dan dirinya menuruni anak tangga rumah. Aku mengerutkan alis, menunggunya bicara. Sama sekali tidak memedulikan tatapan semua orang--yang tidak terlalu ramai, di bawah sana. "Pesona suami lo mampu mengalahkan para aktor Korea favorit gue, Fa. Sumpah!"

Aku menolehkan kepala. Merasa tertarik. "Kenapa?"

"Serius. Lihat suami lo itu, bisa bikin gadis-gadis seperti gue ini nggak berhenti beristigfar. Pesonanya itu loh, bisa bikin khilaf. Maaf, ya ... dia bisa menghangatkan rahim tanpa harus, hem ... sentuhan."

SYIFAWhere stories live. Discover now