13. Meninggikan Harapan Bersama

2.2K 205 12
                                    

"Jika kita memang ditakdirkan Tuhan bersama. Kata cinta kita berdua telah melangit sebelum kita dilahirkan di dunia"
~Sendu Sendu~

"Loh, Dev. Kenapa?" tanya seorang gadis berjilbab tosca di perpustakaan, saat Kak David menghampirinya. Ia membelalakkan mata terkejut. "Wajah kamu kenapa?"

"Kak Rana punya jilbab ganti?" tanya Kak David, tak menjawab pertanyaan gadis itu. Ia pun kini tak lagi menggenggam tanganku. Aku bahkan hanya diam menyaksikan interaksi mereka.

"Punya," kata perempuan bernama Kak Rana itu. Dahinya mengerut. "Buat apa?"

"Pinjam, Kak. Buat dia." Kak David menoleh padaku, mengundang perempuan berbadan kurus tinggi itu menatapku. "Jilbabnya kotor."

"Oh, oke." Kak Rana tersenyum padaku. Ia bangkit dari kursinya. "Gue ambil dulu."

Aku berdiri canggung di depan meja Kak Rana. Ia sepertinya petugas perpustakaan ini. Namun, apa hubungannya dengan Kak David?

"Dia sepupu gue," kata Kak David, seolah tahu apa yang tengah kupikirkan. Ia menatapku lekat. Aku pun hanya bisa meringis tak enak hati melihat lebam di wajahnya. "Lo ...,"

"Nih," ucap Kak Rana, memotong ucapan lelaki itu. Ia menyerahkan pashmina putih padaku. "Pashmina nggak papa, kan?"

Aku mengangguk. Menerima pashmina miliknya. Bagiku kain ini lebih dari cukup, daripada tidak ada. "Makasih."

Ia tersenyum tipis. Mencabut salah satu jarum pentul di pashmina melilit yang ia kenakan, diserahkannya padaku. Dengan tangan gemetar kuterima benda itu.

"Kamu bisa pakai di sini, cari tempat yang menurut kamu aman," katanya padaku. Menunjuk seisi ruangan perpustakaan. "Dan ...,"

"Ayo!" ucap Kak David lagi-lagi memotong ucapan Kak Rana. Ia menarik juntaian pashmina yang kupegang, meninggalkan Kak Rana yang tercengang. Di celah rak buku tinggi yang berjejer rapi, ia menghentikan langkah, menolah padaku. "Lo bisa pakai di sini. Gue akan kasih lo privasi. Gue tunggu di sebelah rak ini," katanya. Lantas, pindah ke celah sebelah. Bersebelahan denganku.

Dengan gemetar, aku melepas seragam Kak David dan berganti memakai pashmina Kak Rana. Setelahnya, aku luruh dengan punggung menyandar pada rak buku. Merasa amat lelah dengan hidup kali ini. Aku bahkan menggigit bibir bawah erat menahan agar tak terisak. Sebab, aku tak ingin lagi menangis seperti sebelumnya. Tidak. Ini semua murni kesalahanku. Seharusnya aku tak memilih sekolah umum sebagai jalan hidupku.

"Nangis aja. Keluarin sesak di dada lo, Fa," ucap Kak David dari balik rak buku. Meski tak kulihat, nyatanya ia terasa amat dekat denganku. "Gue akan pura-pura nggak dengar."

Aku menarik kedua tungkai, memeluk erat kedua lutut. Lantas, menangis tersedu, mengeluarkan semua sesak yang membelenggu dadaku. Tak peduli jika kini Kak David akan mendengarku.

"Kak ...," ucapku di sela tangis, memastikan dirinya masih ada di sana. Sebab, ia tak juga bersuara.

"Ya," sahutnya pelan. "Kenapa?"

Aku menggelengkan kepala, seolah ia dapat melihatku. Padahal, tidak. "Maaf."

"Untuk apa?" tanyanya lagi.

SYIFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang