Diva menghela nafas, "Itu jaman TK, kita udah dewasa sekarang DAN... ini gak normal"

"Lo tetep adik kecil gue"

"Kalo gitu, tiap Inge sakit lo juga harusnya mandiin dia" gumam Diva sambil menghentakkan kakinya pelan

"Kalo bisa..."

Diva melirik sebal, "You're not having sister complex are you?"

"Maybe..." Jawab David ragu

"Kalo begini terus gue gak bisa bersih mandinya"

David tersenyum kecil ketika Diva memprotesnya dengan nada sebal. Untuk pertama kalinya, Diva menunjukkan emosinya pada David. "Gue bantu gosok-gosok"

"Dav... AARGGGHHHH" Diva kesal dan menggenggam kuat tangannya.

David sangat menikmati ketika dia mengerjai kembarannya, sudah lama dia tidak mengisengi Diva. Sudah lama? Bertahun-tahun.

"Fine! Gue ada ide"

"Apa?" Tanya David datar kemudian tersenyum

Setan gila bajingan David sialan, "Lo baca buku. Jangan noleh sini, nanti kalo gue butuh sesuatu lo bisa cepet bantu ambilin"

David berpikir sejenak, "Kalo gue keluar ambil buku, entar lo kunci pintunya. Terus kalo lo jatuh atau kenapa-napa lagi, gue bakal susah nolongin"

Diva menatap David sengit, sejak kapan David bisa membaca pikirannya? Dia kembaran lo Diva, wajar aja dia bisa baca pikiran lo. "I promise" Katanya menyerah

"Really? Kok gue mencium kebohongan"

Sejak kapan dia jadi pinter gini?

"Gue pinter sejak lahir kali"

Diva bengong. Baiklah, dia harus menyerah dari kembarannya yang keras kepala. Diva memejamkan matanya lalu menatap David kembali, "I Promise" katanya lembut

"That kitten eyes doesn't effect me anymore" kata David sambil membalas pandangan Diva tajam

Diva mengepalkan kedua tangannya di bawah dagunya dan memandang David sekali lagi

"Okay, I'll be back" Kata David menyerah lalu meninggalkan Diva sesaat

"Bagus sekali Diva kamu pintar sekali acting kamu luar biasa bahkan David masih aja luluh pake cara begituan hebat Diva pertahankan" gumam Diva pada dirinya sendiri sambil melepaskan bra dan celana dalamnya lalu melemparkan kedua benda itu asal.

David kembali dengan novel di tangannya dan duduk di closet. Dia membuka halaman demi halaman untuk membaca novel di hadapannya. Dia melirik Diva ketika Diva mulai bersenandung. Dulu, dia akan tertidur ketika Diva menyenandungkan sesuatu. Itu ketika mereka kecil. Ketika mereka belum dipisahkan. Ketika mereka masih tinggal di cichago. Ketika mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Suara percikan air menyadarkannya. Dia kembali berkutat berpura-pura membaca novel dihadapannya.

Diva melirik David sekilas lalu memandang keluar jendela. Dia memainkan tangannya lalu bertopang dagu memandang air hujan di luar sana. Dia teringat masa kecilnya di Cichago bersama David. David memang sering memandikannya. Diva tersenyum kecil. Mungkin dia harus menyudahi perang dingin ini. David memang tidak salah dan Diva mencoba membuka pintu maafnya.

David memandang kembarannya dengan tenang. Ada ketenangan yang tiba-tiba merajuk ke dalam hatinya. Mungkinkah Diva sudah menerima keberadaannya? Dia hanya tenang karena Diva juga memiliki ketenangan yang sama. Setidaknya dia sudah bisa berdamai dengan Diva. Hanya Diva yang dia punya. Sekalipun Inge juga adiknya, tapi Inge tidak lahir bersama dengannya. Inge tidak merasakan ikatan batin sekuat Diva dan dirinya. Hanya Diva tempatnya bisa mencurahkan segala kegundahannya. Setidaknya sebentar lagi Diva akan bisa menerima semua curahan hatinya yang semenjak 15 tahun lalu ia pendam. Setidaknya, sampai Diva benar-benar memaafkannya.

CandourWhere stories live. Discover now