48. Rumah sakit

37 3 0
                                    

Arbie terjaga setelah mendengar keributan di ruang bawah. Matanya menyisir ruangan dan tak menemukan sang istri. Pandangannya tertuju pada setumpuk pakaian bersih di atas nakas. Dia tersenyum kecil, pasti itu Aika yang menyiapkan untuknya, sorak hatinya. Dia berusaha meraih ponselnya untuk menghubungi istrinya. Rasanya, ada yang kurang jika tidak menatap wajah Aika di pagi yang begitu cerah ini, begitu pikirnya.

Namun, baru saja dia tangannya berhasil meraih ponselnya, pintu kamarnya diketuk pelan. Arbie menoleh ke arah pintu, ada Ari di sana yang membuka pintu kamarnya sedikit dan memunculkan kepalanya.

"Mas Arbie, udah bangun?" tanyanya hati-hati. Pintu kamar didorong sedikit, rupanya ada Arunika di dalam pelukan Ari. Gadis kecil itu tengah terlelap dengan empeng yang menempel di bibir mungilnya. 

"Ibunya ke mana, Ri?"

"Ah, Kak Aika?" sahut Ari pelan. Arunika mulai menggeliat di dalam dekapannya. Dia pun mencoba menenangkan bayi munggil itu. "shshshshsh...." Ari menimang keponakannya itu lembut, sebelum menurunkannya perlahan ke tempat tidur.

"Aika di mana?" tanya Arbie pelan. "Apa dia di bawah lagi masak?" tanya Arbie penasan.

"Kak Aika gak ada di bawah," sahutnya tenang.

Ari menoleh ke arah Abang iparnya itu. "Kak Aika ke rumah sakit, dianterin ama Mas Ryu dan Kak Rara, sepertinya sudah saatnya, Mas."

"Hah?! Aika kenapa?"

"Ketubannya pecah, barusan aja, kok, ambulannya pergi. Mas mau ke sana? Sini Ari bantu siap-siap. Tadi Kak Aira minta bawain baju Kak Aika sekalian kalau ke rumkit."

Sontak, Arbie berdiri, tetapi kembali duduk di tempat tidurnya karena lukanya. "Ahsssh," desisnya sambil memegangi perutnya. 

"Pelan-pelan aja, Mas. Kak Aika bilang lukanya Mas itu belum sembuh bener, gak boleh banyak gerak."

"Ari, bisa tolong telpon Edward," pintanya pelan. Tangannya masih memegangi bekas lukanya. 

"Oke, mana hapenya?"

Arbie membuka ponselnya, tetapi, dia tidak jadi memberikan ponsel itu ke Ari karena ada pesan dari Aira untuknya. "Bie, kami butuh persetujuan untuk tindakan, tolong segera ke sini."

Bunyi pesan itu, sontak membuat Arbie lansung berdiri dan menyambar baju yang ada di nakas, dan langsung memakainya. Tangannya menahan lukanya sebisanya, agar bisa berjalan dengan cepat menuju ruang bawah. Ari berjalan di belakangnya, takut, kalau-kalau Abang iparnya itu terjatuh. 

Ahmad yang sedang bermain dengan cucu-cucunya menatap ke arah Arbie yang baru saja menuruni anak tangga. Dia menghampiri Arbie, "mau ke rumah sakit, Bie?" tanyanya perhatian. Suara lembut ayah mertuanya itu membuat Arbie menoleh ke arah laki-laki kharismatik itu. Dia tidak bisa menyembunyikan wajah gusarnya di hadapannya.

"Cuci muka dulu, salat dulu, jangan buru-buru," ucapnya pelan.

"Udah tadi, Bah."

Arbie menoleh pada cermin yang ada di ruang tengah, napasnya memburu, matanya memicing, seakan tidak percaya pada makhluk yang dia lihat di kaca. Dia menemukan dirinya yang acak-acakan di sana. Baju kaus oblong over size dengan lengan yang digulung setengah. Celana bermuda bermotif garis yang sedikit kusut. Dia mengusap wajahnya kasar, sembari menghela napas kuat. Pikirannya kacau saat Aira memintanya segera datang ke rumah sakit. Segera ketakutan merasuk di dalam dadanya. Bagaimana Aika? Bagaimana Aika? Hanya itu yang ada di kepalanya saat ini.

"Iya, loh, kamu biasanya gak akan keluar kamar sebelum ganteng," goda Atiqah ibu mertuanya. Wanita paruh baya itu membawa segelas air untuknya. Arbie langsung menerimanya dan menyeruput pelan. Air di dalam gelas itu hangat. Arbie menghela napasnya sebentar, dan langsung berpamitan. Dia tidak membawa serta Ari, dia langsung pergi dengan wajah pucat dan rambut yang masih acak-acakan. Hanya selembar jaket yang dilemparkan Arilah yang menyelamatkan penampilannya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 23 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Pengantin Cadangan 2Where stories live. Discover now