6. Kehamilan Aika

212 9 10
                                    

Ryu duduk di sebelah Aika yang masih diam saja di balkon. Fisioterapinya sudah selesai, Ryu sengaja datang untuk menyapa. Dia berlari dari ICU IGD hanya untuk melihat Aika.

"Hai, tupai! Apa kau menangis karena gak bisa naik pohon?" katanya memecah kesunyian. Aika mengusap air matanya diam-diam.

"Siapa yang nangis!" kata Aika membuat pembelaan.

"Matamu itu merah! Anak kecil juga tahu kalau kamu nangis. Emang, lagi mikirin apa, sih, kok, galau?" tanya Ryu lagi. Dia menyodorkan sebuah botol minuman dingin pada Aika. "Apa kakinya masih nyeri?" tanya Ryu pelan.

"Masih sakit, sih, dikit."

"Jangan kebiasaan gitu, kamu pasti cuma sibuk menutupi rasa sakitmu yang sebenarnya. Apa ibu mertuamu datang dan mengejekmu lagi?" tanya Ryu lagi.

"Nggak jugak! Bu Ratna memang gitu, dia tegas..."

"Bukan tegas, dia ketus. Sinis juga," sela Ryu cepat.

"Kayak emakmu gak gitu aja!" Mario sudah datang untuk menjemput Aika.

"Heh, sikupret rupanya di sini!" Ryu berdiri dan menjaga jarak dari Mario.

"Aika, ayo kita pulang, aku sudah bosan mendengar dering ponsel. Suamimu bentar lagi gila kalau nggak lihat wajahmu," kata Mario. Dia membawa kursi roda dan siap untuk membawa Aika pulang.

"Aku jalan aja ya?" tolak Aika halus.

Mario menatap wajah Aika yang sedikit merah. "Apa kau mau aku ajak jalan-jalan, sebelum kita pulang?" tanyanya perhatian.

"Jangan! Jangan mau diajak jalan-jalan ama dia!" sergah Ryu cepat.

"Emang kau pikir aku psikopet!" sahut Mario sambil berkacak pinggang.

Aika mendengus lemah, dia berdiri dan duduk di kursi roda yang sudah Mario siapkan. Ryu menyela dan mendorong kursi roda itu sendiri. Semua orang memperebutkan Aika. Wanita cantik itu hanya bisa menggelengkan kepalanya .

"Sudah mau pulang, Dek?" tanya Aira

" Iya, Kak. Aku pulang dulu."

Aira hanya tersenyum kecil dan menatap lurus ke arah Mario. Mario menyadarinya dan dia pun hanya diam tak berselera. Dia dorong Ryu dan merebut kursi roda itu dan pergi dari sana. Aira dan Ryu tak bisa berbuat apa-apa. Mereka tak ingin menambah masalah dengan kakak ipar Aika itu.

"Kita langsung pulang atau mau main dulu?"

"Langsung pulang aja, Bang. Kasian nanti dia nyariin."

"Heran aku sama adikku itu, sejak menikah dengan kamu, dia seperti anak kecil. Rewel sekali. Makin rajin juga, sampai habis badannya seperti kanebo kering."

"Aku akan merawatnya dengan baik mulai dari sekarang," kata Aika pelan.

"Tak usah memaksakan diri, pelan-pelan saja. Termasuk, tak usah dengarkan kata Mama. Mama memang agak nyebelin kalau udah nyindir. tapi sebenernya, dia itu bangga punya menantu secantik kamu, Ka."

Aika mencebik, dia tentu tak percaya dengan perkataan abang iparnya yang masih betah menjomblo itu.

"Tenanglah, Mama pasti akan berubah suatu saat nanti. Kita doa sama-sama."

"Abang seperti sangat paham kekesalan mama ya, pasti gak enak punya mantu yang pengangguran dan gak bisa ngurus rumah dengan baik seperti aku."

"Pembantu dan aspri mamah udah banyak, ngapain juga kamu ikutan ngurus rumah? Mending kalian bikin bayi aja."

Aika menelengkan kepalanya ke arah Mario.

"Nggak usah sok cantik gitu!" protes Mario yang tak tahan melihat wajah manis Aika.

Pengantin Cadangan 2Where stories live. Discover now