4. Dear Aika

224 12 8
                                    

"Apa yang membawa kalian ke sini?" Aira terheran-heran menatap dua insan rupawan berdiri di depan pintu rumahnya di malam hujan lebat ini.

"Ujan, Kak." Aika berkata demikian sambil lalu. Tubuhnya kering, tidak basah sama sekali. Hanya ujung gaunnya yang basah karena air hujan di depan rumah mereka. 

Arbie pun sama, dia tidak kehujanan, tidak basah kuyup. Hanya pundaknya basah dan jaketnya basah karena dijadikan payung untuk keduanya. 

Aira mengintip keluar, ada mobil orche berwrna hitam yang sedang parkir di depan rumah. Aira menghela napasnya, dia menutup kembali pintu rumah dan berjalan ke arah dapur. 

"Jadi kalian berencana tinggal berapa hari di sini?" 

Aika yang sudah sampai anak tangga pertama menuju kamarnya di lantai dua menoleh ke arah Aira, saudarinya. "Ini masih rumah ayah ibuku, apa aku butuh izin resmi kalau mau tidur di sini?" tanyanya sengit.

"Ya, sudah! Tidurlah sana!" sahut Aira ketus! Dia mengeluarkan teko dan mengisinya dengan air dan ditaruh di atas kompor. Aira segera meninggalkan dapur setelah menghidupkan kompor. Bayi munggilnya menangis lirih dari dalam kamarnya. 

Arbie berhenti sebentar, dia menoleh ke arah tangisan bayi itu. Hatinya mendadak kasian, melihat Aira mengurus bayinya seorang diri. 

Aika yang sudah kedinginan, juga ikut menoleh ke arah suaminya yang masih berdiri mematung di tangga menatap ke arah kamar Aira. Dia membiarkan laki-lakinya itu diam di sana, kakinya melangkah cepat menuju kama mandi. Tubuhnya ngilu dan kedinginan. 

Pulang ke rumah ini, masih jauh lebih baik, ketimbang harus pulang ke rumah mertuanya dan mendapat omelan karena membuat anaknya kehujanan. Ratna memang sangat sering memarahi Aika, pasalnya, dia tidak bisa melakukan banyakhal yang dia perintahkan. 

Di rumah besar itu, Aika tak lebih sama seperti asisten rumah tangga yang juga ikut membersihkan rumah, memasak dan menyiapkan barang-barang milik Ratna. 

 Setidaknya, dia bisa sedikit merenggangkan tubuhnya sebentar di rumah ini untuk beberapa jam ke depan. Aika tentu saja tidak  bisa berlama-lama meninggalkan Ratna sendirian. 

"Dek, baju Mas ada?" tanya Arbie dari depan kamar mandi. Aika tak menjawabnya, dia masih sibuk mengeringkan rambutnya di dalam kamar mandi. 

"Dek?" panggil Arbie lagi. 

"Iya, Mas, bentar ya," sahutnya sambil membuka pintu. 

Sontak, Arbie memalingkan wajahnya, saat pintu kamar mandi di buka lebar. Aika hanya memakai kaus pendek dan celana pendek yang bahkan tidak lewat dari setengah pahanya. 

"Kenapa, Mas?" tanya Aika heran dengan wajah suaminya yang mendadak merah. 

"Kok, pake baju gitu dingin-dingin gini?" protesnya. Dia masih memalingkan wajah enggan melihat ke arah Aika. 

Wanita cantik itu menyerahkan handuk dan juga kaus pendek untuk suaminya. Di meletakkan boxer dan pakaian dalam di atas meja nakas seperti biasa. Aika segera turun ke dapur untuk mematiikan kompor. Teko di atas kompor sudah berbunyi begitu kuat sedari tadi. Aira terdengar sedang kerepotan di kamarnya sendiri. 

"Kak, air panasnya buat aku?" tanya Aika sopan di depann pintu kamar. 

"Iya, Dek."

Aika membuka pintu kamar, bayi munggil itu tengah meronta di gendongan ibunya. Aika mengambil alih, dia menggendong bayi itu keluar kamar. 

"Dek, udah sama Kakak aja," cegah Aira. 

"Nggak apa-apa, dia kembung, ne, harusnya kalau udah gini minta bantuan, jangan diem-diem aja." Aika mengambil gendongan dan membawanya. Dia lupa tadi ingin membuatkan air hangat untuk suaminya yang sedang mandi di kamar atas. 

Malam suda semakin larut, Arbie tak mencari Aika ke luar kamar, dia sudah sangat lelah berjalan seharian keliling kebun binatang. Matanya langsung terpejam, begitu kepalanya menyentuh bantal. 

Dua kakak beradik yang berparas sama itu sedang berusaha menenangkan Chantika. Keduanya bingung, sudah sangat lama digendong, bayi itu terjaga begitu diletakkan. 

"Pasti ada yang gak nyaman, suhu badan normal, tadi udah makan, gak sembelit, gak diare, terus kenapa?" Aira mulai menyerah, dia duduk lemas di sisi tempat tidur. Kepalanya bersandar pada tiang pancang untuk kelambu yang sengaja dipasang di kamar. 

Aika meletakkan bayi itu dan membuka popok sekali pakai yang dia kenakan. Di dalamnya, ada banyak kotoran yang hampir mengering karena lupa dibersihkan. 

 Dua insan berparas sama itu pun berpandangan, "hm, dasar bayi!" 

Aira langsung mengangkat anaknya ke kamar mandi dan memersihkannya. Aiika pun kembali ke kamarnya setelah keponakannya itu bisa tidur dengan tenang. 

Arbie terjaga, saat pintu kamarnya terbuka. "Dari mana? Mas nungguin dari tadi."

Aika melepas sweater yang menempel di tubuhnya, berikut jilbab dan juga celana panjang yang dia pakai sebelum keluar kamar. Penampilannya yang super mini itu membuat mata Arbie yang semua setengah terpejam, kini tak mau terpejam.

"Kamu kenapa bajunya gitu?"

"Ini rumah abah dan umik, tidak akan ada orang yang ujug-ujug masuk ke kamarku tanpa mengetuk!" sahut Aika datar. Dia langsung masuk ke selimut dan tidur di samping suaminya. Jantung laki-laki mana yang tak jebol melihat penampilan indah di depannya. 

"Air di sini, dingin, Mas yakin?"

Arbie hanya tertawa kecil.

...

Pagi-pagi sekali, Arbie sudah bangun dan berjalan ke ruang tengah. Ada seorang laki-laki yang baru saja pulang. Dia memakai stelan hijau emerald dan tas ransel besar. Stetoskop masih mengantung di lehernya. Dia melepas masker dan segera masuk ke kamar mandi yang ada di dekat dapur. Dia Ryu, suami Aira. 

"Eh, ada Mas Arbie toh? Kirain tadi ada pangeran dari mana sampai ke sini?" Ari, adik iparnya baru saja pulang dari salat subuh di masjid bersama ayahnya. Laki-laki paruh baya itu menatap wajah Arbie dan tersenyum manis ke arahnya. 

"MasyaAllah, mantu Abah? Kapan ke sini? Pantesan, itu, kok, ada mobil bagus parkir di depan, rupanya kamu, toh. Dedek mana?" 

Arbie langsung menybut mertuanya itu dan mencium tangannya. "Dedek masih tidur di atas, Bah."

Demi didengarnya, putrinya masih terlelap, Ahmad langsung berdiri, ingin membangunkan putrinya segera. 

"Udahlah, Bah. Tahu sendiri, Kakak pasti capek. Dia gak akan pulang ke sini, kalau gak capek banget," kata Ari mencoba menenangkan hati ayahnya. 

Laki-laki yang ada di kamar mandi sedari tadi, akhirnya keluar juga. Dia langsung masuk ke kamar Aira tanpa mengatakan apa-apa pada semua orang. 

"Oh, itu Ryu, dia katanya jaga malam beberapa hari ini, jadi nginep di sini. Gantian tu, jagain Chantika," tutur Ahmad pada Arbie tanpa diminta.

"Oh, gitu?"

"Nah, kamu sendiri, gimana? Udah ada rencana punya momongan? Udah setahun kan? Abah juga pengen nimang cucu dari kalian, Bi." Ahmad menepuk paha Arbie. 

"Oh, iya, Bah. Doakan ya, Bah?"

Pengantin Cadangan 2Where stories live. Discover now